Selasa, 07 November 2017

MAKNA PUISI HUJAN BULAN JUNI

BAIT I (Pertama)

Tidak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni

Artinya
penyair mengartikan hujan sebagai kasih sayang. Berarti ketabahan, kesabaran dari hujan agar tidak turun ke bumi dalam Bulan Juni. Juni adalah bulan musim kemarau, mustahil jika hujan turun pada bulan Juni. Maka mengandung makna tentang ketabahan, kesabaran seseorang untuk tidak menyampaikan sayang juga rindunya pada orang yang dicintainya (menahan)

dirahasiakannya rintik rindunya

Artinya
Lebih memilih jika sayangnya, rindunya untuk disimpan saja

kepada pohon berbunga itu

Artinya
Kepada orang yang disayanginya yang dirindukannya

BAIT Ke-II (Kedua)

Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni

Artinya
Bijak artinya mampu, bisa. Dia mampu dengan ketabahannya menahan tidak menyampaikan sayangnya juga rindunya

Dihapusnya jejak jejak kakinya yang ragu ragu di  jalan itu

Artinya
Dia menghapus keraguan, prasangka jelek yang hinggap di hatinya dalam menanti orang yang dicintainya

BAIT Ke-III (Ketiga)

Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni

Artinya
Arif artinya cerdik, pandai. Dia pandai menyimpan, menyembunyikan rasa sayangnya, rindunya pada orang yang dia cintai

Dibiarkannya tak terucapkan

Artinya
Dia membiarkannya, tidak diucapkannya apa yang dia rasakan (sayang dan rindunya)

Diserap oleh akar pohon bunga itu

Artinya
membiarkan rasanya selama ini tanpa diucapkan, biar dimengerti sendiri olehnya sehingga berbuah manis

Secara logika, mustahil hujan turun pada bulan Juni. Sebab Juni merupakan bulan musim kemarau. Tapi, ternyata 1 Juni 2015  kemarin hujan turun membasahi kota kecil saya. Bukan hujan biasa melainkan hujan deras. Lalu apa arti sesungguhnya dibalik Tuhan menurunkan derasnya air hujan di bulan Juni ini? Apakah sama artinya dengan Hujan Bulan Juni karya Sapardi?..
Bagi penyair kelahiran Surakarta ini, hujan melambangkan kasih sayang. Kasih sayangnya hujan pada pohon. Menurutnya, hujan yang datang pada bulan Juni adalah hujan yang sungguh tabah, bijak dan arif karena mengetahui kerinduan yang dirasakan sang pohon.

Sumber :
https://yunnugraheni.wordpress.com/2015/06/10/bedah-puisi-hujan-bulan-juni-sapardi-djoko-darmono/

HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

Film Hujan Bulan Juni 2017


Hujan Bulan Juni merupakan film garapan Indonesia bergenre drama romantis oleh Starvision dan Sinema Imaji selaku pihak produksi film. Mengadaptasi cerita dari novel karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul "Hujan Bulan Juni" terbitan tahun 2015, Film ini melibatkan Reni Nurcahyo Hestu Saputra (Air Mata Surga, Perfect Dream) selaku sutradara. Dalam film ini, Sapardi juga ikut ambil bagian dalam penulisan skenario film bersama Titien Wattimena (Negeri Van Oranje, Labuan Hati).

Film Hujan Bulan Juni diproduseri oleh Chand Parwez Servia (Sweet 20, From London to Bali) dan Avesina Soebli (Sepatu Dahlan, Sundul Gan). Turut serta Tina Talisa dan Fiaz Servia selaku produser eksekutif. Film yang bersyuting di beberapa kota di Sulawesi Utara dan Jepang ini menghadirkan aktor dan aktris berbakat dalam film drama-romance, yaitu Adipati Dolken (Pertaruhan, Posesif) dan Velove Vexia (Cinta Laki-Laki Biasa, Wa’alaikumssalam Paris).

Turut hadir pula Baim Wong (Jendral Soedirman, Simfoni Satu Tanda), Surya Saputra (Dear Nathan, Promise), Koutaro Kakimoto (Somebody, R-18 Bungakusho Vol.2 Jellyfish), Ira Wibowo (ILY from 38.000 Ft, Sabtu Bersama Bapak) dan Jajang Pamontjak (Surat Dari Praha, Bidah Cinta)
Film Hujan Bulan Juni dijadwalkan akan tayang perdana pada awal bulan November.

Petikan isi novel Sapardi yang disisipkan kedalam film ini
"Hujan di bulan Juni"

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

» Tanggal rilis : 2 November 2017
» Genre : Drama, Romance
» Sutradara : Reni Nurcahyo Hestu Saputra
» Penulis : Titien Wattimena
» Produser : Chand Parwez Servia dan Avesina Soebli
» My Rating : - /10
» Rating Usia : R (13 tahun keatas)
» Durasi : 1 jam 36 menit
» Pemeran di film Hujan Bulan Juni

   Velove Vexia sebagai Pingkan
   Adipati Dolken sebagai Sarwono
   Baim Wong sebagai Benny
   Surya Saputra sebagai Tumbelaka
   Koutaro Kakimoto sebagai Katsuo
   Ira Wibowo sebagai Tante Henny
   Sundari Soekotjo sebagai Hartini
   Jajang C Noer sebagai Bu Hadi
   Widi Dwinanda sebagai Dewi
   Frankie Willem Supit sebagai Om Hans
   Andi Backtiar Yusuf sebagai Kaprodi
   Melly Pandean sebagai Tante Melly
   Johny Ricky Sangeroki sebagai Pak Ahmad
  Sapardi Djoko Damono


Sinopsis Film Hujan Bulan Juni

Film Hujan Bulan Juni bercerita tentang kisah seorang dosen muda Sastra Jepang di Universitas Indonesia bernama Pingkan (Velove Vexia) yang mendapatkan kesempatan untuk belajar ke Jepang selama dua tahun. Namun kekasihnya, Sarwono (Adipati Dolke) merasa nelangsa mendengar kabar akan ditinggal oleh Pingkan yang selama ini hampir tidak pernah lepas dari sampingnya.

Ketika Sarwono ditugaskan Kaprodinya untuk presentasi kerjasama ke Universitas Sam Ratulangi Manado, ia membawa pingkan sebagai guide-nya selama di Manado. Disana Pingkan bertemu keluarga besar almarhum ayah Sarwono, ia dipojokkan oleh pertanyaan tentang hubunganya dengan Sarwono, perbedaan yang dimata mereka sangat besar. Bukan mereka tidak menyadarinya, hanya saja mereka terlanjur nyaman dengan cinta dan kasih sayang yang mereka rasakan.

Sinopsis Resmi Film Hujan Bulan Juni
Berdasarkan novel HUJAN BULAN JUNI karya Sapardi Djoko Damono.
Pingkan (Velove Vexia), dosen muda Sastra Jepang Universitas Indonesia, mendapat kesempatan belajar ke Jepang selama 2 tahun. Sarwono (Adipati Dolken) nelangsa mendengar kabar ditinggal Pingkan, yang selama ini hampir tidak pernah lepas dari sampingnya.

Sarwono ditugaskan Kaprodinya untuk presentasi kerjasama ke Universitas Sam Ratulangi Manado. Sarwono pun membawa Pingkan sebagai guide-nya selama di Manado. Pingkan bertemu keluarga besar almarhum ayahnya yang Manado. Ia mulai dipojokkan oleh pertanyaan tentang hubungannya dengan Sarwono. Apalagi kalau bukan masalah perbedaan yang di mata mereka sangat besar. Bukannya Pingkan (dan Sarwono) tidak menyadarinya. Mereka sudah terlanjur nyaman menetap bertahun-tahun di dalam ruangan kedap suara bernama kasih sayang...
Apakah ini akan jadi perjalanan perpisahan mereka?.

Sumber :
http://film.mbahsinopsis.id/2017/10/sinopsis-film-hujan-bulan-juni-2017.html

Senin, 08 Mei 2017

KETERLIBATAN PKI TERHADAP LEKRA DAN PARA PENGARANGNYA



Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan  Lekra. Berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950 di Jakarta. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dengan pahamnya realisme-sosialis. Pada mulanya Lekra ini bukanlah organ kebudayaan namun setelah kedudukan PKI semakin kuat barulah Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaan.

Secara tidak langsung PKI kian kuat pada kedudukannya dalam dunia politik. Pada tahun 1959 Soekarno yang ketika itu menjadi presiden mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan ‘Manifesto Politik’ (yang kemudian menjadi terkenal dengan singkatan Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol ini memberikan ruang gerak terhadap PKI untuk sedikit demi sedikit merebut posisi-posisi penting dalam usahanya merebut kekuasaan.
Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk perebutan kekuasaan itu, PKI mengerahkan segala kekuatan dalam segala bidang dan segala lapangan. Bukan hanya dalam bidang politik saja, tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya dilakukan pengerahan kekuatan secara demonstratif dan massal untuk mengiriskan lawan-lawannya. Dalam bidang kebudayaan pengerahan tenaga itu dilakukan oleh Lekra yang secara simultan bekerja sama dengan serikat buruh, organisasi pemuda, mahasiswa, sarjana, petani dan potensi masyarakat yang lain.

Seperti juga dalam bidang-bidang lain yang dilakukan oleh organ-organ PKI di lapangan bersangkutan, pun di lapangan kebudayaan Lekra melakukan salah satu metode komunisme yang sudah terkenal di mana-mana, yaitu menteror orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham atau tidak bisa diajak sepaham dengan mereka. (Rosidi, 1986 : 164)
Dalam lapangan sastra Lekra juga secara langsung mengusik pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan mereka. Seperti yang terjadi pada Hamka terhadap karyanya yang berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang dianggap mirip dengan Madjdulin Luthfi Al-Manfaluthi dijadikan alasan untuk menghancurkan namanya. Secara massal dan beramai-ramai Hamka dijatuhkan. Padahal delapan tahun sebelum itu (1955) Ali Audah telah mengemukakan persoalan ini. Tetapi karena ketika itu Lekra belum sampai pada tahap agresif, maka persoalan itu seolah-olah tidak ada.

Teori intensif yang mereka lakukan itu telah menyebabkan banyak budayawan, seniman dan pengarang lalu menggabungkan diri kepada Lekra. Karena para seniman itu agaknya berpendapat kalau tidak begitu, mereka tidak akan selamat. Sebagian lagi, yang tetap memegang prinsip menolak komunisme, lalu menggabungkan diri pada organisasi-organisasi kebudayaan yang bernaung pada partai-partai Nasakom yang ada pada masa itu. Mengikuti PKI dengan Lekranya, partai-partai yang lain pun membentuk organisasi-organisasi kebudayaan yang berinduk kepada partai, seperti juga membentuk organisasi buruh, petani, nelayan, dan pemuda yang bernaung pada partainya. Tahun 1959 PNI membentuk LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) yang untuk pertama kali diketuai oleh Sitor Situmorang.
Dengan berbagai akal dan cara para budayawan, seniman dan pengarang Indonesia dipaksa untuk masuk salah satu kandang. Kalau tidak, mereka akan menjadi bulan-bulanan orang Lekra dan PKI. Bahkan organisasi-organisasi yang tidak berinduk kepada salah satu partai Naskom, segera didesak supaya bubar atau memilih salah satu partai Naskom sebagai induk. Organisasi-organisasi mahasiswa dan pelajar yang hendak berdiri sendiri (independen) terus-terusan diteror dan difitnahnya, seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII). (Rosidi, 1986 : 165-166)
Tapi tahun-tahun menjelang 1965 itu bukan lagi masa untuk perdebatan filsafat. Sejak awal, PKI tampaknya sedang meningkatkan militansinya – dan melihat “Manikebu” sebagai sasaran yang bagus untuk menggerakkan diri. Pada saat yang sama mungkin partai itu juga melihat “Manikebu” sebagai ancaman politik, sebagai langkah baru Angkatan Bersenjata untuk menentang posisi PKI yang sedang unggul di bidang ideologi. (Mohamad, 1993 : 50-51)

Para Pengarang Lekra

Supaya mendapat gambaran siapa saja para pengarang Lekra, di bawah ini akan disinggung tokoh-tokohnya yang terpenting secara sepintas. Patut dikemukakan, bahwa dibandingkan dengan organisasi-organisasi kebudayaan yang berinduk kepada partai-partai yang lain, Lekra paling maju dalam bidang penerbitan. Bahkan mungkin satu-satunya yang menyelenggarakan penerbitan-penerbitan karya sastra berbentuk buku. Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota mereka pun asal dianggapnya menguntungkan pihak mereka, diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul Zaman Baru (1962) diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra. Padahal Sitor resminya ialah orang LKN.
Kecuali ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai Harian Rakyat yang secara tetap terbit setiap hari Sabtu dan dimpin oleh Hr. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah Zaman Baru yang dimpin oleh Rivai Apin, S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, merka menerbitkan harian Kebudayaan Baru yang dipimpin oleh S. Anantaguna. Dalam ruangan penerbitan-penerbitan itu selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan. Dalam bidang penerbitan buku-buku mereka sangat aktif sekali. Berbagai kumpulan sajak, kumpulan cerpen, drama, roman baik asli maupun terjemahan, baik ditulis oleh seorang pengarang maupun merupakan kumpulan bersama, banyak diterbitkan sejak tahun 1959 sampai terjadi Gestapu.

Sementara itu orang-orang Lekra pun disebar untuk menguasai media massa yang secara resmi bukan milik mereka. Pramoedya Ananta Toer merupakan salah seorang ketua Lembaga Seni Sastra (Lekra) dan salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan Lentera dalam surat kabar Bintang (Timur) Minggu yang resminya ialah koran Partindo. Melalui media massa ini dilancarkan dengan gencar berbagai insinuasi, fitnah dan serangan terhadap orang-orang dan golongan-golongan yang secara politis dianggap membahayakan mereka.
Jumlah para pengarang yang mengisi lembaran-lembaran kebudayaan itu kian hari kian bertambah. Ada nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis. Ada pula nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Di antara golongan kedua itu bisa disebut Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan Budiman, S.Wisnu Kuntjahjo, Sobron Aidit, Utuy T. Sontani, Dodong Djiwapradja, Pramoedya Ananta Toer dan lain-lain. Mereka sudah mengumumkan karya-karya mereka dalam majalah atau berupa buku sebelum mereka menjadi anggota Lekra atau mengumumkan karangan-karangan mereka dalam penerbitan-penerbitan Lekra atau yang diasuh oleh orang Lekra. Diantara para penulis yang namanya sejak mulai muncul selalu dalam lingkungan Lekra ialah A.S. Dharta, Bachtiar Siagian, Bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakotta, Zubir A.A., A. Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, S. Anantaguna, Agam Wispi, Kusni Sulang, B.A. Simanjuntak, Sugiarti Siswadi, Hadi S., dan lain-lain. (Rosidi, 1986 : 170-171)


Referensi :
Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah sastra Indonesia (Cetakan keempat). Bandung : Binacipta.
Mohamad, Goenawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta : PT. Pustaka Firdaus.

Pulo Karampuang Nyanyian Rakyat Asal Sulawesi Barat



Nyanyian Rakyat (Folksongs)
Menurut Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brunvand dalam danandjaja, 2002 : 141)
Berbeda dengan kebanyakan bentuk-bentuk folklor lainnya, nyanyian rakyat berasal dari bermacam-macam sumber dan timbul dalam berbagai macam media. Dalam nyanyian rakyat kata-kata dan lagu merupakan dwitunggal yang tak terpisahkan.

Jenis-jenis Nyanyian Rakyat :
Berhubung nyanyian rakyat terdiri dari dua unsur yang penting, yakni lirik (kata-kata) dan lagu, maka sudah tentu dalam kenyataannya dapat saja terjadi bahwa salah satu unsurnya akan lebih menonjol daripada unsur yang lain.



Pulo Karampuang
Oh pulo karampuang
Di olona mamuju
Merio-rio nikita
Di wattu simbar karampuang

Karaomo lampana tonisenga’ di ate
Ateku’ rapang nikojo
Bennu bulo pammoso

Pallarina utara
Situru-turu’ salatang
Pangkata nda’ko di ia
Di tomarao

Translasi :

Pulau Bulan
Oh pulau bulan
Di depannya mamuju
Bersenang-senang dilihat
Di waktu munculnya bulan

Jauh sudah perginya yang diingat di hati
Hatiku seperti diiris
Bambu yang tajam

Angin bertiup dari utara
Begitu juga selatan
Sampaikan ke dia
Yang jauh disana



Sebelum saya membahas mengenai lagu Pulo Karampuang diatas saya akan menyinggung sedikit mengenai Pulau Karampuang itu sendiri.

Pulau Karampuang adalah sebuah pulau yang berada di Kecamatan Simboro Kepulauan, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Pulau ini memiliki luas sekitar 6 Km2 dan kepopulerannya sudah tidak diragukan lagi di Pulau Sulawesi. Pulau Karampuang merupakan lahan hutan kota Mamuju. Selain itu, pulau ini juga menjadi salah satu obyek wisata di Mamuju.
Karampuang yang berasal dari bahasa Mamuju kalau diartikan dalam bahasa Indonesia artinya rembulan atau bulan purnama. Sebenarnya nama asli pulau itu adalah Pulau Liutang namun seorang biduan dari Mamuju, Andi Maksum, memuji keindahan pulau itu ibarat rembulan dalam sebuah lagu yang berjudul Karampuang. Maka akhirnya nama ini yang lebih populer untuk menyebut nama pulau itu dibanding dengan nama aslinya.
Ada versi lain dalam soal nama Karampuang. Konon pulau itu menjadi tempat persembunyian para raja dari kejaran tentara Belanda, di masa kolonialisme. Persembunyian dinamakan karampuang sebab kata itu disusun dari Kara artinya karang, batu, atau pulau; dan Puang artinya bangsawan, ningrat, raja (maradika). Dari gabungan dua kata itu membentuk sebuah arti pulau para raja atau pulau para bangsawan. Bahasa itu berasal dari bahasa suku di  Sulawesi seperti Bugis, Makassar, dan Toraja.
Seperti yang sudah tertera diatas Karampuang itu bisa berarti rembulan ataupun bulan purnama. Disini saya akan menerjemahkan sedikit mengenai lagu Pulo Karampuang ini jika di perhatikan dari lirik lagu tersebut dapat dikatakan bahwa sesungguhnya lagu ini bercerita tentang kerinduan seseorang.
Ada yang menarik dari asal usul pulau karampuang ini, jika kita mencari artinya di internet maka tertulis bahwa Pulau Karampuang ini dikatakan hati yang dihilangkan.

Karaomo lampana tonisenga’ di ate               ‘Jauh sudah perginya yang diingat di hati’
Ateku’ rapang nikojo                                       ‘Hatiku seperti diiris’
Bennu bulo pammoso                                     ‘Bambu yang tajam’

Pallarina utara                                                ‘Angin bertiup dari utara’
Situru-turu’ salatang                                       ‘Begitu juga selatan’
Pangkata nda’ko di ia                                     ‘Sampaikan ke dia’
Di tomarao                                                      ‘Yang jauh disana’

Dari lirik tersebut terlihat jelas bahwa seseorang yang menahan rindu dan berharap angin dari utara maupun selatan menyampaikan rasa rindunya itu. Namun jika kita mendengar lagu ini dan pembawaannya maka kita akan mengira lagu ini tentang kebahagian.

Referensi :
Danandjaja, James. 2002. Folkor Indonesia, Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.

Senin, 24 April 2017

RINGKASAN BUKU PENGADILAN PUISI

       A.    Identitas Buku
Judul Buku      : Pengadilan Puisi
Penulis            : Pamusuk Eneste
Penerbit           : PT GUNUNG AGUNG
Tahun Terbit    : 1986
Tebal Buku      : 74 hal.

       B.    Ringkasan
Pengadilan Puisi, tepatnya “Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir”, merupakan nama sebuah acara yang diselenggarakan pada tanggal 8 September 1974 di Aula Universitas Parahyangan Bandung. Dengan tujuan mencari sesuatu yang berbeda dalam membicarakan kesusastraan, dalam hal ini puisi. Karena seminar, simposium, diskusi panel dianggap membosankan. Bagaimana kalau dicari suatu bentuk yang tidak menjemukan, lucu tapi juga bersungguh-sungguh. Menurut gagasan Darmanto, bentuk pengadilan puisi bisa memenuhi persyaratan. Demikianlah Puisi Indonesia Mutakhir  jadi terdakwa yang diadili. Dimana Slamet Kirnanto bertindak sebagai Jaksa. Hakim Ketua diisi oleh Sanento Yuliman dan didampingi oleh Darmanto Jt. Selaku Jaksa Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”

Dakwaan tersebut merupakan sejumlah kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagalung yang menjagokan Subagio Sastrowardoyo begitu pula H.B. Jassin yang menjagokan W.S. Rendra. Mereka tidak pernah membicarakan Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jt yang membawa “gejala pembaharuan”. Juga gejala “saling memuji” antara tiga serangkai Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Abdul Hadi W.M. terlebih terhadap Horison yang dianggap tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab, dimana berubah fungsi menjadi “majalah keluarga” dan tempat tumbuh subur epigon-epigon seperti Abdul Hadi.

Taufiq Ismail selaku pembela dalam “Catatan dari Bandung dan Jakarta : Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir dan Jawaban Terhadap Itu” mengatakan ... Dalam hal ini, pembela bertolak saja dari dakwaan-dakwaan, mengarahkan para saksi pada titik yang menguntungkan terdakwa sehingga dakwaan dapat diruntuhkan semuanya. Tentu harus dengan semangat humoristis.

Slamet Kirnanto dalam “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!” mengatakan ... Dalam hati saya timbul rasa geli mendengar pertandingan adu nomor undian semacam ini. Bagaimana kita harus mempercayai pendirian dan penilainan dua kritikus itu, sedang mereka tidak cukup waktu untuk mempelajari rasa hidup dan perkembangan-perkembangan puisi kita mutakhir secara keseluruhan, khususnya makin pesatnya kapasitas penciptaan akhir-akhir ini, dan esensinya dibandingkan dengan para establishment yang mereka perebutkan itu.

Menimbang perlunya menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan menuntut yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar yang menghambat langkah dari kecendrungan yang sedang tumbuh sekarang; berdasarkan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Puisi), seperti terjelma dalam pasal demi pasalnya yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; dengan ini kami sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam “Peradilan Puisi Kontemporer”, mengajukan tuntutan sebagai berikut :
  1. Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
  2. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
  3. Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi ingkarnasinya dibuang ke pulau paling terpencil.
  4. Horison dan Budaya Jaya harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.
H.B. Jassin dalam “Beberapa Catatan Bertalian dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir” mengatakan ... Waktu saya membaca laporan “Pengadilan Puisi Kontemporer” dalam harian Kompas tanggal 10 September 1974, saya mengira berhadapan dengan pengadilan imajiner yang disusun oleh pelapornya dari bahan-bahan yang dikumpulkannya dengan mewawancarai orang-orang yang ditampilkan dalam laporan itu. Demikian pula rupanya di antara orang yang mengetahui peristiwa itu hanya dari surat kabar, salah paham jadi lebih besar lagi, karena laporan itu kehilangan suasana yang mestinya meliputi ruangan “pengadilan” itu. Maka terjadilah bahwa ada orang yang tertawa dan ada orang yang marah. Dan ada juga mungkin yang berdiri di tengah-tengah, tertawa karena merasa lucu, tapi juga marah karena menganggap kelucuan itu tidak pada tempatnya.


Menurut programa, susunan personalia pengadilan adalah seperti berikut :
Hakim Ketua                          : Sanento Yuliman
Hakim Anggota                      : Darmanto Jt
Jaksa Penuntut Umum           : Slamet Kirnanto
Tim Pembela                          : Taufiq Ismail
                                                             Sapardi Djoko Damono (absen)
                                                             (Handrawan Nadesul)
Terdakwa                                : Puisi Indonesia Mutakhir
Para Saksi :                                   
a.     Saksi yang meringankan
Saini K.M. (Bandung)
Adri Darmadji (Jakarta)
Wing Kardjo (Bandung)
Abdul Hadi W.M. (Bandung)
Umbu Landu Paranggi (Yogya, absen)
Yudhistira Ardi Noegraha (Jakarta)
b.     Saksi yang memberatkan
Sutardji Calzoum Bachri (Bandung)
Sides Sudyarto DS (Jakarta)
  
Bunyi rumusan dakwaan sebagaimana yang dapat ditangkap dari laporan wartawan Kompas ialah bahwa :

... situasi perkembangan sastra, khususnya puisi Indonesia tidak menentu. Sudah tidak sehat sama sekali. Gejala-gejala kebarat-baratan yang berasal dari satrawan intelektualistis Sutan Takdir Alisjahbana masih terus berjalan, sehingga sastra Indonesia tidak menemukan kekuatannya pada kepribadiannya sendiri, melainkan hanya epigonisme dari Barat saja

Selanjutnya dikatakan pula bahwa biang keladi keadaan yang tidak sehat ini adalah Goenawan Mohamad yang meneruskan epigonisme dari Barat, disempurnakan oleh Sapardi Djoko damono dan dibuntuti oleh Abdul Hadi W.M. Tak luput pula dianggap berdosa majalah Horison dan Budaya Jaya yang menjadi penyebar dan juru bicara epigonisme yang dianggap berbahaya itu dan karena itu harus dicabut izin terbitnya. Dan akhirnya, surat tuduhan itu menyebut para kritikus, antara lain H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa “selalu menghembus-hembuskan angin sastra yang tidak sehat itu, serta tidak sanggup melihat gejala dan kenyataan adanya aliran baru yang lebih Indonesia”, dan karena itu harus segera dipensiunkan.

Yang menarik dari buku ini ialah tentang tulisan pada paragraf kesembilan bab ini yang ditulis seperti ini; Si Terdakwa ialah puisi Indonesia Mutakhir yang tentu didukung oleh penyair Indonesia mutakhir. Di sini timbul pertanyaan. Semua para pengadil adalah penyair Indonesia mutakhir. Apakah mereka mengadili diri sendiri? Ini tentu bisa saja, kalau para pengadil tidak merasa turut bersalah dan sekadar hendak mengadili mereka penulis puisi yang bersalah. Tapi anehnya, Sapardi Djoko Damono yang mestinya duduk di kursi terdakwa, turut pula menjadi pembela. Demikian Abdul Hadi yang disebut-sebut sebagai terdakwa, berfungsi sebagai saksi, sekaligus sebagai saksi a decharge. Malahan pembela Taufiq Ismail seharusnya duduk di kursi terdakwa, karena turut bersalah duduk dalam redaksi Horison yang dituntut supaya dicabut izin terbitnya. Lebih aneh lagi saksi Sides Sudyarto yang dalam kesaksiannya mengatakan bahwa sejak Chairil Anwar sudah tidak ada, tidak ada lagi puisi Indonesia. Dengan demikian dia menerjang habis Hakim Ketua, Hakim Anggota, Jaksa Penuntut Umum, Tim Pembela, semua Para Saksi, yang adalah penyair-penyair sesudah Chairil Anwar, termasuk dirinya sendiri. Menurut saksi ini, semua mereka itu hanya mendompleng pada gaya Chairil Anwar, dengan mereka-reka kata yang kemudian diberi cap “puisi” dengan seenaknya.

M.S. Hutagalung dalam “Puisi Kita Dewasa Ini Jawaban Saya terhadap Slamet Kirnanto” menyatakan bahwa Saya berpendirian bahwa disenangi atau tidak disenangi pengarang, FSUI harus tetap mengutarakan pendapat-pendapatnya terhadap karya sastra. Untuk mengulangi hal-hal yang telah dikemukakan, diambil beberapa kesimpulan :
  1. Pandangan-pandangan  Slamet Kirnanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan kesusastraan kita khususnya, kebudayaan kita umumnya.
  2. Saya berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
  3. Bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnanto lah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada pandangan Kirnanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
  4. Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, langsunglah menilai karyanya tanpa menghubungkan harapan agar mereka sebagai “pengarah” sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tuntutan yang tidak wajar untuk mereka.
Goenawan Mohamad dalam “Komentar Berhubung dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir” menyatakan bahwa saya tak hadir disana. Saya tak menerima undangan sebagaimana yang lain-lain, meskipun nama saya mereka sebut-sebut. Saya juga sebelumnya tak membaca berita di koran tentang acara tersebut. Yang saya baca di koran hari-hari ini cuma laporan pengadilan Hariman Siregar – yang bagi saya lebih menyangkut masalah yang lebih dasar daripada masalah penyair Indonesia dan puisi mereka.

Tentang Kehidupan Puisi
Kalau kini atau nanti Subagio Sastrowardoyo, W.S. Rendra, Taufiq Ismail dan lain-lain tidak lagi menghasilkan sesuatu apa pun yang berharga, tak usah kita panik. Baca saja buku-buku puisi yang dulu atau yang lain yang masih kita senangi. Atau bikin sendiri. Kalau Slamet Kirnanto dan anggota-anggota kelompoknya, yakni Darmanto Jt dan Sutardji, tidak bisa lagi bikin puisi sendiri, juga jangan gugup. Apalagi kebetulan masih ada Adri Darmadji, Yudhistira Ardi Noegraha, dan lain-lain.
Sekali lagi, tokoh kita adalah puisi, bukan penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi berharga-hingga lebih baik seorang penyair berhenti menulis daripada ia memaksa diri unjuk tenaganya tapi cuma menghasilkan ampas. Yang paling repot mempersalahkan kemandegan biasanya justru mereka yang takut kemandegan diri sendiri. Orang separuh baya biasanya mulai memperhatikan perkara daya seksual. Maka di Bandung yang menyatakan situasi puisi kita “sehat-sehat saja” adalah penyair-penyair yang lebih muda dan masih aktif menulis. Saya teringat diskusi kosong tahun 1950-an tentang “krisis” dan “kelesuan” : yang menyatakan ada “krisis” dan “kelesuan” adalah mereka yang sudah uzur daya kreatifnya, sedangkan yang membantah ialah generasi yang lebih muda. Sejarah berulang, dan puisi Indonesia jalan terus. Maka pak tua, jangan menangis! Tidak ada salahnya puisi hidup tanpa kita ....

Sapardi Djoko Damono dalam “Catatan Atas Pengadilan Puisi dan Tuntutan Slamet Kirnanto” menyatakan bahwa Harap diketahui bahwa saya diundang menghadiri “Pengadilan Puisi” yang diselenggarakan di Bandung tanggal 8 September 1974. Sayang sekali saya tidak bisa hadir karena alasan kesehatan.
Pada tahun 1970, Darmanto Jt pernah menyodorkan gagasan mengadakan kegiatan semacam itu di Semarang, tetapi karena beberapa alasan acara yang dimaksudkan untuk badutan itu tidak bisa dilaksanakan pada saatnya. Baru tahun ini ada beberapa teman yang bersedia melaksanakan gagasan asli Darmanto Jt itu di Bandung.
Kesimpulan saya: tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak (kecuali barangkali, empat buah pokok tuntutannya yang di bagian akhir tulisan itu). Barangkali kita harus menghargai Slamet Kirnanto karena “keberanian”-nya tampil di Bandung tempo hari, namun saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu “serius” untuk pertemuan serupa itu. Suasana pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang bertindak sebagai “penuntut umum”.
Dan harus kita hargai kecerdikan akal Darmanto Jt yang telah menghasilkan sebuah pertemuan yang unik (yang katanya diselenggarakan oleh Sanento Yuliman dan Sutardji Calzoum Bachri), yang menjadi alasan pertemuan di FSUI kali ini.

Kelebihan buku ini:
Menurut saya buku ini sangat baik untuk dibaca dan sangat dianjurkan untuk dibaca oleh mahasiswa sastra untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai sejarah sastra yang pernah terjadi di Indonesia ini.

Kekurangan buku ini:
Menurut saya kata-katanya kurang mudah untuk dipahami sehingga jika masyarakat awam yang membaca mungkin akan susah dan bisa jadi dianggap membosankan karena kata-katanya yang agak sulit dipahami.

                    C. Kesimpulan

Buku ini sangat baik untuk dibaca selain untuk menambah wawasan kita terhadap kesusastraan di Indonesia. Kita juga dapat banyak pesan moral yang diselipkan oleh penulis dalam tulisannya itu. Dan juga banyak hal menarik yang terdapat dalam buku ini.