BAIT I (Pertama)
Tidak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
Artinya
penyair mengartikan hujan sebagai kasih sayang. Berarti ketabahan, kesabaran dari hujan agar tidak turun ke bumi dalam Bulan Juni. Juni adalah bulan musim kemarau, mustahil jika hujan turun pada bulan Juni. Maka mengandung makna tentang ketabahan, kesabaran seseorang untuk tidak menyampaikan sayang juga rindunya pada orang yang dicintainya (menahan)
dirahasiakannya rintik rindunya
Artinya
Lebih memilih jika sayangnya, rindunya untuk disimpan saja
kepada pohon berbunga itu
Artinya
Kepada orang yang disayanginya yang dirindukannya
BAIT Ke-II (Kedua)
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Artinya
Bijak artinya mampu, bisa. Dia mampu dengan ketabahannya menahan tidak menyampaikan sayangnya juga rindunya
Dihapusnya jejak jejak kakinya yang ragu ragu di jalan itu
Artinya
Dia menghapus keraguan, prasangka jelek yang hinggap di hatinya dalam menanti orang yang dicintainya
BAIT Ke-III (Ketiga)
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
Artinya
Arif artinya cerdik, pandai. Dia pandai menyimpan, menyembunyikan rasa sayangnya, rindunya pada orang yang dia cintai
Dibiarkannya tak terucapkan
Artinya
Dia membiarkannya, tidak diucapkannya apa yang dia rasakan (sayang dan rindunya)
Diserap oleh akar pohon bunga itu
Artinya
membiarkan rasanya selama ini tanpa diucapkan, biar dimengerti sendiri olehnya sehingga berbuah manis
Secara logika, mustahil hujan turun pada bulan Juni. Sebab Juni merupakan bulan musim kemarau. Tapi, ternyata 1 Juni 2015 kemarin hujan turun membasahi kota kecil saya. Bukan hujan biasa melainkan hujan deras. Lalu apa arti sesungguhnya dibalik Tuhan menurunkan derasnya air hujan di bulan Juni ini? Apakah sama artinya dengan Hujan Bulan Juni karya Sapardi?..
Bagi penyair kelahiran Surakarta ini, hujan melambangkan kasih sayang. Kasih sayangnya hujan pada pohon. Menurutnya, hujan yang datang pada bulan Juni adalah hujan yang sungguh tabah, bijak dan arif karena mengetahui kerinduan yang dirasakan sang pohon.
Sumber :
https://yunnugraheni.wordpress.com/2015/06/10/bedah-puisi-hujan-bulan-juni-sapardi-djoko-darmono/
EUNOIA
Selasa, 07 November 2017
HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO
Film Hujan Bulan Juni 2017
Hujan Bulan Juni merupakan film garapan Indonesia bergenre drama romantis oleh Starvision dan Sinema Imaji selaku pihak produksi film. Mengadaptasi cerita dari novel karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul "Hujan Bulan Juni" terbitan tahun 2015, Film ini melibatkan Reni Nurcahyo Hestu Saputra (Air Mata Surga, Perfect Dream) selaku sutradara. Dalam film ini, Sapardi juga ikut ambil bagian dalam penulisan skenario film bersama Titien Wattimena (Negeri Van Oranje, Labuan Hati).
Film Hujan Bulan Juni diproduseri oleh Chand Parwez Servia (Sweet 20, From London to Bali) dan Avesina Soebli (Sepatu Dahlan, Sundul Gan). Turut serta Tina Talisa dan Fiaz Servia selaku produser eksekutif. Film yang bersyuting di beberapa kota di Sulawesi Utara dan Jepang ini menghadirkan aktor dan aktris berbakat dalam film drama-romance, yaitu Adipati Dolken (Pertaruhan, Posesif) dan Velove Vexia (Cinta Laki-Laki Biasa, Wa’alaikumssalam Paris).
Turut hadir pula Baim Wong (Jendral Soedirman, Simfoni Satu Tanda), Surya Saputra (Dear Nathan, Promise), Koutaro Kakimoto (Somebody, R-18 Bungakusho Vol.2 Jellyfish), Ira Wibowo (ILY from 38.000 Ft, Sabtu Bersama Bapak) dan Jajang Pamontjak (Surat Dari Praha, Bidah Cinta)
Film Hujan Bulan Juni dijadwalkan akan tayang perdana pada awal bulan November.
Petikan isi novel Sapardi yang disisipkan kedalam film ini
"Hujan di bulan Juni"
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
» Tanggal rilis : 2 November 2017
» Genre : Drama, Romance
» Sutradara : Reni Nurcahyo Hestu Saputra
» Penulis : Titien Wattimena
» Produser : Chand Parwez Servia dan Avesina Soebli
» My Rating : - /10
» Rating Usia : R (13 tahun keatas)
» Durasi : 1 jam 36 menit
» Pemeran di film Hujan Bulan Juni
Velove Vexia sebagai Pingkan
Adipati Dolken sebagai Sarwono
Baim Wong sebagai Benny
Surya Saputra sebagai Tumbelaka
Koutaro Kakimoto sebagai Katsuo
Ira Wibowo sebagai Tante Henny
Sundari Soekotjo sebagai Hartini
Jajang C Noer sebagai Bu Hadi
Widi Dwinanda sebagai Dewi
Frankie Willem Supit sebagai Om Hans
Andi Backtiar Yusuf sebagai Kaprodi
Melly Pandean sebagai Tante Melly
Johny Ricky Sangeroki sebagai Pak Ahmad
Sapardi Djoko Damono
Sinopsis Film Hujan Bulan Juni
Film Hujan Bulan Juni bercerita tentang kisah seorang dosen muda Sastra Jepang di Universitas Indonesia bernama Pingkan (Velove Vexia) yang mendapatkan kesempatan untuk belajar ke Jepang selama dua tahun. Namun kekasihnya, Sarwono (Adipati Dolke) merasa nelangsa mendengar kabar akan ditinggal oleh Pingkan yang selama ini hampir tidak pernah lepas dari sampingnya.
Ketika Sarwono ditugaskan Kaprodinya untuk presentasi kerjasama ke Universitas Sam Ratulangi Manado, ia membawa pingkan sebagai guide-nya selama di Manado. Disana Pingkan bertemu keluarga besar almarhum ayah Sarwono, ia dipojokkan oleh pertanyaan tentang hubunganya dengan Sarwono, perbedaan yang dimata mereka sangat besar. Bukan mereka tidak menyadarinya, hanya saja mereka terlanjur nyaman dengan cinta dan kasih sayang yang mereka rasakan.
Sinopsis Resmi Film Hujan Bulan Juni
Berdasarkan novel HUJAN BULAN JUNI karya Sapardi Djoko Damono.
Pingkan (Velove Vexia), dosen muda Sastra Jepang Universitas Indonesia, mendapat kesempatan belajar ke Jepang selama 2 tahun. Sarwono (Adipati Dolken) nelangsa mendengar kabar ditinggal Pingkan, yang selama ini hampir tidak pernah lepas dari sampingnya.
Sarwono ditugaskan Kaprodinya untuk presentasi kerjasama ke Universitas Sam Ratulangi Manado. Sarwono pun membawa Pingkan sebagai guide-nya selama di Manado. Pingkan bertemu keluarga besar almarhum ayahnya yang Manado. Ia mulai dipojokkan oleh pertanyaan tentang hubungannya dengan Sarwono. Apalagi kalau bukan masalah perbedaan yang di mata mereka sangat besar. Bukannya Pingkan (dan Sarwono) tidak menyadarinya. Mereka sudah terlanjur nyaman menetap bertahun-tahun di dalam ruangan kedap suara bernama kasih sayang...
Apakah ini akan jadi perjalanan perpisahan mereka?.
Sumber :
http://film.mbahsinopsis.id/2017/10/sinopsis-film-hujan-bulan-juni-2017.html
Hujan Bulan Juni merupakan film garapan Indonesia bergenre drama romantis oleh Starvision dan Sinema Imaji selaku pihak produksi film. Mengadaptasi cerita dari novel karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul "Hujan Bulan Juni" terbitan tahun 2015, Film ini melibatkan Reni Nurcahyo Hestu Saputra (Air Mata Surga, Perfect Dream) selaku sutradara. Dalam film ini, Sapardi juga ikut ambil bagian dalam penulisan skenario film bersama Titien Wattimena (Negeri Van Oranje, Labuan Hati).
Film Hujan Bulan Juni diproduseri oleh Chand Parwez Servia (Sweet 20, From London to Bali) dan Avesina Soebli (Sepatu Dahlan, Sundul Gan). Turut serta Tina Talisa dan Fiaz Servia selaku produser eksekutif. Film yang bersyuting di beberapa kota di Sulawesi Utara dan Jepang ini menghadirkan aktor dan aktris berbakat dalam film drama-romance, yaitu Adipati Dolken (Pertaruhan, Posesif) dan Velove Vexia (Cinta Laki-Laki Biasa, Wa’alaikumssalam Paris).
Turut hadir pula Baim Wong (Jendral Soedirman, Simfoni Satu Tanda), Surya Saputra (Dear Nathan, Promise), Koutaro Kakimoto (Somebody, R-18 Bungakusho Vol.2 Jellyfish), Ira Wibowo (ILY from 38.000 Ft, Sabtu Bersama Bapak) dan Jajang Pamontjak (Surat Dari Praha, Bidah Cinta)
Film Hujan Bulan Juni dijadwalkan akan tayang perdana pada awal bulan November.
Petikan isi novel Sapardi yang disisipkan kedalam film ini
"Hujan di bulan Juni"
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
» Tanggal rilis : 2 November 2017
» Genre : Drama, Romance
» Sutradara : Reni Nurcahyo Hestu Saputra
» Penulis : Titien Wattimena
» Produser : Chand Parwez Servia dan Avesina Soebli
» My Rating : - /10
» Rating Usia : R (13 tahun keatas)
» Durasi : 1 jam 36 menit
» Pemeran di film Hujan Bulan Juni
Velove Vexia sebagai Pingkan
Adipati Dolken sebagai Sarwono
Baim Wong sebagai Benny
Surya Saputra sebagai Tumbelaka
Koutaro Kakimoto sebagai Katsuo
Ira Wibowo sebagai Tante Henny
Sundari Soekotjo sebagai Hartini
Jajang C Noer sebagai Bu Hadi
Widi Dwinanda sebagai Dewi
Frankie Willem Supit sebagai Om Hans
Andi Backtiar Yusuf sebagai Kaprodi
Melly Pandean sebagai Tante Melly
Johny Ricky Sangeroki sebagai Pak Ahmad
Sapardi Djoko Damono
Sinopsis Film Hujan Bulan Juni
Film Hujan Bulan Juni bercerita tentang kisah seorang dosen muda Sastra Jepang di Universitas Indonesia bernama Pingkan (Velove Vexia) yang mendapatkan kesempatan untuk belajar ke Jepang selama dua tahun. Namun kekasihnya, Sarwono (Adipati Dolke) merasa nelangsa mendengar kabar akan ditinggal oleh Pingkan yang selama ini hampir tidak pernah lepas dari sampingnya.
Ketika Sarwono ditugaskan Kaprodinya untuk presentasi kerjasama ke Universitas Sam Ratulangi Manado, ia membawa pingkan sebagai guide-nya selama di Manado. Disana Pingkan bertemu keluarga besar almarhum ayah Sarwono, ia dipojokkan oleh pertanyaan tentang hubunganya dengan Sarwono, perbedaan yang dimata mereka sangat besar. Bukan mereka tidak menyadarinya, hanya saja mereka terlanjur nyaman dengan cinta dan kasih sayang yang mereka rasakan.
Sinopsis Resmi Film Hujan Bulan Juni
Berdasarkan novel HUJAN BULAN JUNI karya Sapardi Djoko Damono.
Pingkan (Velove Vexia), dosen muda Sastra Jepang Universitas Indonesia, mendapat kesempatan belajar ke Jepang selama 2 tahun. Sarwono (Adipati Dolken) nelangsa mendengar kabar ditinggal Pingkan, yang selama ini hampir tidak pernah lepas dari sampingnya.
Sarwono ditugaskan Kaprodinya untuk presentasi kerjasama ke Universitas Sam Ratulangi Manado. Sarwono pun membawa Pingkan sebagai guide-nya selama di Manado. Pingkan bertemu keluarga besar almarhum ayahnya yang Manado. Ia mulai dipojokkan oleh pertanyaan tentang hubungannya dengan Sarwono. Apalagi kalau bukan masalah perbedaan yang di mata mereka sangat besar. Bukannya Pingkan (dan Sarwono) tidak menyadarinya. Mereka sudah terlanjur nyaman menetap bertahun-tahun di dalam ruangan kedap suara bernama kasih sayang...
Apakah ini akan jadi perjalanan perpisahan mereka?.
Sumber :
http://film.mbahsinopsis.id/2017/10/sinopsis-film-hujan-bulan-juni-2017.html
Senin, 08 Mei 2017
KETERLIBATAN PKI TERHADAP LEKRA DAN PARA PENGARANGNYA
Lembaga
Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Lekra. Berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950
di Jakarta. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dengan pahamnya
realisme-sosialis. Pada mulanya Lekra ini bukanlah organ kebudayaan namun
setelah kedudukan PKI semakin kuat barulah Lekra secara resmi menjadi organ
kebudayaan.
Secara
tidak langsung PKI kian kuat pada kedudukannya dalam dunia politik. Pada tahun
1959 Soekarno yang ketika itu menjadi presiden mendekritkan UUD 1945 berlaku
lagi dan mengajukan ‘Manifesto Politik’ (yang kemudian menjadi terkenal dengan
singkatan Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol ini memberikan ruang
gerak terhadap PKI untuk sedikit demi sedikit merebut posisi-posisi penting
dalam usahanya merebut kekuasaan.
Dalam
usahanya mempersiapkan diri untuk perebutan kekuasaan itu, PKI mengerahkan
segala kekuatan dalam segala bidang dan segala lapangan. Bukan hanya dalam
bidang politik saja, tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya dilakukan
pengerahan kekuatan secara demonstratif dan massal untuk mengiriskan
lawan-lawannya. Dalam bidang kebudayaan pengerahan tenaga itu dilakukan oleh
Lekra yang secara simultan bekerja sama dengan serikat buruh, organisasi
pemuda, mahasiswa, sarjana, petani dan potensi masyarakat yang lain.
Seperti
juga dalam bidang-bidang lain yang dilakukan oleh organ-organ PKI di lapangan
bersangkutan, pun di lapangan kebudayaan Lekra melakukan salah satu metode
komunisme yang sudah terkenal di mana-mana, yaitu menteror orang-orang dan
golongan yang dianggapnya tidak sepaham atau tidak bisa diajak sepaham dengan
mereka. (Rosidi, 1986 : 164)
Dalam
lapangan sastra Lekra juga secara langsung mengusik pengarang yang mempunyai
paham berbeda dengan mereka. Seperti yang terjadi pada Hamka terhadap karyanya
yang berjudul Tenggelamnya Kapal van der
Wijck yang dianggap mirip dengan Madjdulin
Luthfi Al-Manfaluthi dijadikan alasan untuk menghancurkan namanya. Secara
massal dan beramai-ramai Hamka dijatuhkan. Padahal delapan tahun sebelum itu
(1955) Ali Audah telah mengemukakan persoalan ini. Tetapi karena ketika itu
Lekra belum sampai pada tahap agresif, maka persoalan itu seolah-olah tidak
ada.
Teori
intensif yang mereka lakukan itu telah menyebabkan banyak budayawan, seniman
dan pengarang lalu menggabungkan diri kepada Lekra. Karena para seniman itu
agaknya berpendapat kalau tidak begitu, mereka tidak akan selamat. Sebagian
lagi, yang tetap memegang prinsip menolak komunisme, lalu menggabungkan diri
pada organisasi-organisasi kebudayaan yang bernaung pada partai-partai Nasakom
yang ada pada masa itu. Mengikuti PKI dengan Lekranya, partai-partai yang lain
pun membentuk organisasi-organisasi kebudayaan yang berinduk kepada partai,
seperti juga membentuk organisasi buruh, petani, nelayan, dan pemuda yang
bernaung pada partainya. Tahun 1959 PNI membentuk LKN (Lembaga Kebudayaan
Nasional) yang untuk pertama kali diketuai oleh Sitor Situmorang.
Dengan
berbagai akal dan cara para budayawan, seniman dan pengarang Indonesia dipaksa
untuk masuk salah satu kandang. Kalau tidak, mereka akan menjadi bulan-bulanan
orang Lekra dan PKI. Bahkan organisasi-organisasi yang tidak berinduk kepada
salah satu partai Naskom, segera didesak supaya bubar atau memilih salah satu
partai Naskom sebagai induk. Organisasi-organisasi mahasiswa dan pelajar yang
hendak berdiri sendiri (independen) terus-terusan diteror dan difitnahnya,
seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam
Indonesia (PII). (Rosidi, 1986 : 165-166)
Tapi
tahun-tahun menjelang 1965 itu bukan lagi masa untuk perdebatan filsafat. Sejak
awal, PKI tampaknya sedang meningkatkan militansinya – dan melihat “Manikebu”
sebagai sasaran yang bagus untuk menggerakkan diri. Pada saat yang sama mungkin
partai itu juga melihat “Manikebu” sebagai ancaman politik, sebagai langkah
baru Angkatan Bersenjata untuk menentang posisi PKI yang sedang unggul di
bidang ideologi. (Mohamad, 1993 : 50-51)
Para
Pengarang Lekra
Supaya mendapat gambaran siapa saja para pengarang Lekra,
di bawah ini akan disinggung tokoh-tokohnya yang terpenting secara sepintas.
Patut dikemukakan, bahwa dibandingkan dengan organisasi-organisasi kebudayaan
yang berinduk kepada partai-partai yang lain, Lekra paling maju dalam bidang penerbitan.
Bahkan mungkin satu-satunya yang menyelenggarakan penerbitan-penerbitan karya
sastra berbentuk buku. Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan
anggota mereka pun asal dianggapnya menguntungkan pihak mereka, diterbitkan
juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul Zaman Baru (1962) diterbitkan oleh organ
penerbitan Lekra. Padahal Sitor resminya ialah orang LKN.
Kecuali ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai Harian Rakyat yang secara tetap terbit
setiap hari Sabtu dan dimpin oleh Hr. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah Zaman Baru yang dimpin oleh Rivai Apin,
S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, merka
menerbitkan harian Kebudayaan Baru
yang dipimpin oleh S. Anantaguna. Dalam ruangan penerbitan-penerbitan itu
selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan karangan-karangan lain
baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan. Dalam bidang
penerbitan buku-buku mereka sangat aktif sekali. Berbagai kumpulan sajak,
kumpulan cerpen, drama, roman baik asli maupun terjemahan, baik ditulis oleh
seorang pengarang maupun merupakan kumpulan bersama, banyak diterbitkan sejak
tahun 1959 sampai terjadi Gestapu.
Sementara itu orang-orang Lekra pun disebar untuk
menguasai media massa yang secara resmi bukan milik mereka. Pramoedya Ananta
Toer merupakan salah seorang ketua Lembaga Seni Sastra (Lekra) dan salah
seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan Lentera dalam surat kabar Bintang (Timur) Minggu yang resminya
ialah koran Partindo. Melalui media massa ini dilancarkan dengan gencar
berbagai insinuasi, fitnah dan serangan terhadap orang-orang dan
golongan-golongan yang secara politis dianggap membahayakan mereka.
Jumlah para pengarang yang mengisi lembaran-lembaran
kebudayaan itu kian hari kian bertambah. Ada nama-nama baru yang untuk pertama
kali menulis. Ada pula nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang
kemudian masuk Lekra. Di antara golongan kedua itu bisa disebut Rivai Apin, S.
Rukiah, Kuslan Budiman, S.Wisnu Kuntjahjo, Sobron Aidit, Utuy T. Sontani,
Dodong Djiwapradja, Pramoedya Ananta Toer dan lain-lain. Mereka sudah
mengumumkan karya-karya mereka dalam majalah atau berupa buku sebelum mereka
menjadi anggota Lekra atau mengumumkan karangan-karangan mereka dalam
penerbitan-penerbitan Lekra atau yang diasuh oleh orang Lekra. Diantara para
penulis yang namanya sejak mulai muncul selalu dalam lingkungan Lekra ialah
A.S. Dharta, Bachtiar Siagian, Bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakotta,
Zubir A.A., A. Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, S. Anantaguna, Agam Wispi,
Kusni Sulang, B.A. Simanjuntak, Sugiarti Siswadi, Hadi S., dan lain-lain. (Rosidi, 1986 :
170-171)
Referensi :
Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah sastra Indonesia
(Cetakan keempat). Bandung : Binacipta.
Mohamad, Goenawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta :
PT. Pustaka Firdaus.
Pulo Karampuang Nyanyian Rakyat Asal Sulawesi Barat
Nyanyian Rakyat (Folksongs)
Menurut Jan Harold Brunvand,
nyanyian rakyat adalah salah satu genre
atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara
lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak
mempunyai varian (Brunvand dalam danandjaja, 2002 : 141)
Berbeda dengan kebanyakan
bentuk-bentuk folklor lainnya, nyanyian rakyat berasal dari bermacam-macam
sumber dan timbul dalam berbagai macam media. Dalam nyanyian rakyat kata-kata
dan lagu merupakan dwitunggal yang tak terpisahkan.
Jenis-jenis Nyanyian Rakyat :
Berhubung nyanyian rakyat
terdiri dari dua unsur yang penting, yakni lirik (kata-kata) dan lagu, maka
sudah tentu dalam kenyataannya dapat saja terjadi bahwa salah satu unsurnya
akan lebih menonjol daripada unsur yang lain.
Pulo Karampuang
Oh pulo karampuang
Di olona mamuju
Merio-rio nikita
Di wattu simbar karampuang
Karaomo lampana tonisenga’ di ate
Ateku’ rapang nikojo
Bennu bulo pammoso
Pallarina utara
Situru-turu’ salatang
Pangkata nda’ko di ia
Di tomarao
Translasi :
Pulau Bulan
Oh pulau bulan
Di depannya mamuju
Bersenang-senang dilihat
Di waktu munculnya bulan
Jauh sudah perginya yang diingat di hati
Hatiku seperti diiris
Bambu yang tajam
Angin bertiup dari utara
Begitu juga selatan
Sampaikan ke dia
Yang jauh disana
Sebelum
saya membahas mengenai lagu Pulo Karampuang diatas saya akan menyinggung
sedikit mengenai Pulau Karampuang itu sendiri.
Pulau Karampuang adalah sebuah pulau
yang berada di Kecamatan Simboro Kepulauan, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi
Barat. Pulau ini memiliki luas sekitar 6 Km2 dan kepopulerannya sudah tidak diragukan lagi di
Pulau Sulawesi. Pulau Karampuang merupakan lahan hutan kota Mamuju. Selain itu,
pulau ini juga menjadi salah satu obyek wisata di Mamuju.
Karampuang yang berasal dari bahasa
Mamuju kalau diartikan dalam bahasa Indonesia artinya rembulan atau bulan
purnama. Sebenarnya nama asli pulau itu adalah Pulau Liutang namun seorang
biduan dari Mamuju, Andi Maksum, memuji keindahan pulau itu ibarat rembulan
dalam sebuah lagu yang berjudul Karampuang. Maka akhirnya nama ini yang lebih
populer untuk menyebut nama pulau itu dibanding dengan nama aslinya.
Ada versi lain dalam soal nama
Karampuang. Konon pulau itu menjadi tempat persembunyian para raja dari kejaran
tentara Belanda, di masa kolonialisme. Persembunyian dinamakan karampuang sebab
kata itu disusun dari Kara artinya karang, batu, atau pulau; dan Puang artinya
bangsawan, ningrat, raja (maradika). Dari gabungan dua kata itu membentuk
sebuah arti pulau para raja atau pulau para bangsawan. Bahasa itu berasal dari
bahasa suku di Sulawesi
seperti Bugis, Makassar, dan Toraja.
Seperti
yang sudah tertera diatas Karampuang itu bisa berarti rembulan ataupun bulan
purnama. Disini saya akan menerjemahkan sedikit mengenai lagu Pulo Karampuang
ini jika di perhatikan dari lirik lagu tersebut dapat dikatakan bahwa
sesungguhnya lagu ini bercerita tentang kerinduan seseorang.
Ada
yang menarik dari asal usul pulau karampuang ini, jika kita mencari artinya di
internet maka tertulis bahwa Pulau Karampuang ini dikatakan hati yang dihilangkan.
Karaomo lampana tonisenga’ di ate ‘Jauh sudah perginya yang diingat
di hati’
Ateku’ rapang nikojo ‘Hatiku seperti
diiris’
Bennu bulo pammoso ‘Bambu yang tajam’
Pallarina utara ‘Angin
bertiup dari utara’
Situru-turu’ salatang ‘Begitu juga selatan’
Pangkata nda’ko di ia ‘Sampaikan ke dia’
Di tomarao ‘Yang
jauh disana’
Dari
lirik tersebut terlihat jelas bahwa seseorang yang menahan rindu dan berharap
angin dari utara maupun selatan menyampaikan rasa rindunya itu. Namun jika kita
mendengar lagu ini dan pembawaannya maka kita akan mengira lagu ini tentang
kebahagian.
Referensi :
Danandjaja, James. 2002. Folkor Indonesia, Ilmu gosip, dongeng, dan
lain-lain. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.
Senin, 24 April 2017
RINGKASAN BUKU PENGADILAN PUISI
A. Identitas Buku
Judul Buku : Pengadilan Puisi
Penulis : Pamusuk Eneste
Penerbit : PT GUNUNG AGUNG
Tahun Terbit : 1986
Tebal Buku : 74 hal.
B. Ringkasan
Pengadilan
Puisi, tepatnya “Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir”, merupakan nama sebuah
acara yang diselenggarakan pada tanggal 8 September 1974 di Aula Universitas
Parahyangan Bandung. Dengan tujuan mencari sesuatu yang berbeda dalam
membicarakan kesusastraan, dalam hal ini puisi. Karena seminar, simposium,
diskusi panel dianggap membosankan. Bagaimana kalau dicari suatu bentuk yang
tidak menjemukan, lucu tapi juga bersungguh-sungguh. Menurut gagasan Darmanto,
bentuk pengadilan puisi bisa memenuhi persyaratan. Demikianlah Puisi Indonesia
Mutakhir jadi terdakwa yang diadili. Dimana
Slamet Kirnanto bertindak sebagai Jaksa. Hakim Ketua diisi oleh Sanento Yuliman
dan didampingi oleh Darmanto Jt. Selaku Jaksa Slamet Kirnanto membacakan
tuntutannya “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak
Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”
Dakwaan
tersebut merupakan sejumlah kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi, terhadap
kritikus M.S. Hutagalung yang menjagokan Subagio Sastrowardoyo begitu pula H.B.
Jassin yang menjagokan W.S. Rendra. Mereka tidak pernah membicarakan Sutardji
Calzoum Bachri dan Darmanto Jt yang membawa “gejala pembaharuan”. Juga gejala
“saling memuji” antara tiga serangkai Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono
dan Abdul Hadi W.M. terlebih terhadap Horison
yang dianggap tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab,
dimana berubah fungsi menjadi “majalah keluarga” dan tempat tumbuh subur
epigon-epigon seperti Abdul Hadi.
Taufiq
Ismail selaku pembela dalam “Catatan dari Bandung dan Jakarta : Pengadilan
Puisi Indonesia Mutakhir dan Jawaban Terhadap Itu” mengatakan ... Dalam hal
ini, pembela bertolak saja dari dakwaan-dakwaan, mengarahkan para saksi pada
titik yang menguntungkan terdakwa sehingga dakwaan dapat diruntuhkan semuanya.
Tentu harus dengan semangat humoristis.
Slamet
Kirnanto dalam “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak
Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!” mengatakan ... Dalam hati saya timbul rasa
geli mendengar pertandingan adu nomor undian semacam ini. Bagaimana kita harus
mempercayai pendirian dan penilainan dua kritikus itu, sedang mereka tidak
cukup waktu untuk mempelajari rasa hidup dan perkembangan-perkembangan puisi
kita mutakhir secara keseluruhan, khususnya makin pesatnya kapasitas penciptaan
akhir-akhir ini, dan esensinya dibandingkan dengan para establishment yang mereka perebutkan itu.
Menimbang
perlunya menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan
menuntut yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan
belukar yang menghambat langkah dari kecendrungan yang sedang tumbuh sekarang;
berdasarkan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Puisi), seperti terjelma dalam
pasal demi pasalnya yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat;
dengan ini kami sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam “Peradilan
Puisi Kontemporer”, mengajukan tuntutan sebagai berikut :
- Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
- Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
- Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi ingkarnasinya dibuang ke pulau paling terpencil.
- Horison dan Budaya Jaya harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.
Menurut programa,
susunan personalia pengadilan adalah seperti berikut :
Hakim Ketua : Sanento Yuliman
Hakim Anggota :
Darmanto Jt
Jaksa Penuntut Umum : Slamet Kirnanto
Tim Pembela : Taufiq Ismail
Sapardi Djoko Damono (absen)
(Handrawan Nadesul)
Sapardi Djoko Damono (absen)
(Handrawan Nadesul)
Terdakwa : Puisi Indonesia
Mutakhir
Para
Saksi :
a. Saksi yang meringankan
Saini
K.M. (Bandung)
Adri
Darmadji (Jakarta)
Wing
Kardjo (Bandung)
Abdul
Hadi W.M. (Bandung)
Umbu
Landu Paranggi (Yogya, absen)
Yudhistira
Ardi Noegraha (Jakarta)
b. Saksi yang memberatkan
Sutardji
Calzoum Bachri (Bandung)
Sides
Sudyarto DS (Jakarta)
Bunyi rumusan
dakwaan sebagaimana yang dapat ditangkap dari laporan wartawan Kompas ialah bahwa :
... situasi perkembangan sastra, khususnya puisi Indonesia tidak menentu. Sudah tidak sehat sama sekali. Gejala-gejala kebarat-baratan yang berasal dari satrawan intelektualistis Sutan Takdir Alisjahbana masih terus berjalan, sehingga sastra Indonesia tidak menemukan kekuatannya pada kepribadiannya sendiri, melainkan hanya epigonisme dari Barat saja
Selanjutnya dikatakan pula bahwa biang keladi keadaan yang tidak sehat ini adalah Goenawan Mohamad yang meneruskan epigonisme dari Barat, disempurnakan oleh Sapardi Djoko damono dan dibuntuti oleh Abdul Hadi W.M. Tak luput pula dianggap berdosa majalah Horison dan Budaya Jaya yang menjadi penyebar dan juru bicara epigonisme yang dianggap berbahaya itu dan karena itu harus dicabut izin terbitnya. Dan akhirnya, surat tuduhan itu menyebut para kritikus, antara lain H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa “selalu menghembus-hembuskan angin sastra yang tidak sehat itu, serta tidak sanggup melihat gejala dan kenyataan adanya aliran baru yang lebih Indonesia”, dan karena itu harus segera dipensiunkan.
... situasi perkembangan sastra, khususnya puisi Indonesia tidak menentu. Sudah tidak sehat sama sekali. Gejala-gejala kebarat-baratan yang berasal dari satrawan intelektualistis Sutan Takdir Alisjahbana masih terus berjalan, sehingga sastra Indonesia tidak menemukan kekuatannya pada kepribadiannya sendiri, melainkan hanya epigonisme dari Barat saja
Selanjutnya dikatakan pula bahwa biang keladi keadaan yang tidak sehat ini adalah Goenawan Mohamad yang meneruskan epigonisme dari Barat, disempurnakan oleh Sapardi Djoko damono dan dibuntuti oleh Abdul Hadi W.M. Tak luput pula dianggap berdosa majalah Horison dan Budaya Jaya yang menjadi penyebar dan juru bicara epigonisme yang dianggap berbahaya itu dan karena itu harus dicabut izin terbitnya. Dan akhirnya, surat tuduhan itu menyebut para kritikus, antara lain H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa “selalu menghembus-hembuskan angin sastra yang tidak sehat itu, serta tidak sanggup melihat gejala dan kenyataan adanya aliran baru yang lebih Indonesia”, dan karena itu harus segera dipensiunkan.
Yang
menarik dari buku ini ialah tentang tulisan pada paragraf kesembilan bab ini
yang ditulis seperti ini; Si Terdakwa ialah puisi Indonesia Mutakhir yang tentu
didukung oleh penyair Indonesia mutakhir. Di sini timbul pertanyaan. Semua para
pengadil adalah penyair Indonesia mutakhir. Apakah mereka mengadili diri
sendiri? Ini tentu bisa saja, kalau para pengadil tidak merasa turut bersalah
dan sekadar hendak mengadili mereka penulis puisi yang bersalah. Tapi anehnya,
Sapardi Djoko Damono yang mestinya duduk di kursi terdakwa, turut pula menjadi
pembela. Demikian Abdul Hadi yang disebut-sebut sebagai terdakwa, berfungsi
sebagai saksi, sekaligus sebagai saksi a
decharge. Malahan pembela Taufiq Ismail seharusnya duduk di kursi terdakwa,
karena turut bersalah duduk dalam redaksi Horison
yang dituntut supaya dicabut izin terbitnya. Lebih aneh lagi saksi Sides
Sudyarto yang dalam kesaksiannya mengatakan bahwa sejak Chairil Anwar sudah
tidak ada, tidak ada lagi puisi Indonesia. Dengan demikian dia menerjang habis
Hakim Ketua, Hakim Anggota, Jaksa Penuntut Umum, Tim Pembela, semua Para Saksi,
yang adalah penyair-penyair sesudah Chairil Anwar, termasuk dirinya sendiri.
Menurut saksi ini, semua mereka itu hanya mendompleng pada gaya Chairil Anwar,
dengan mereka-reka kata yang kemudian diberi cap “puisi” dengan seenaknya.
M.S.
Hutagalung dalam “Puisi Kita Dewasa Ini Jawaban Saya terhadap Slamet Kirnanto”
menyatakan bahwa Saya berpendirian bahwa disenangi atau tidak disenangi
pengarang, FSUI harus tetap mengutarakan pendapat-pendapatnya terhadap karya
sastra. Untuk mengulangi hal-hal yang telah dikemukakan, diambil beberapa
kesimpulan :
- Pandangan-pandangan Slamet Kirnanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan kesusastraan kita khususnya, kebudayaan kita umumnya.
- Saya berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
- Bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnanto lah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada pandangan Kirnanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
- Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, langsunglah menilai karyanya tanpa menghubungkan harapan agar mereka sebagai “pengarah” sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tuntutan yang tidak wajar untuk mereka.
Goenawan Mohamad dalam “Komentar Berhubung dengan Pengadilan Puisi Indonesia
Mutakhir” menyatakan bahwa saya tak hadir disana. Saya tak menerima undangan
sebagaimana yang lain-lain, meskipun nama saya mereka sebut-sebut. Saya juga
sebelumnya tak membaca berita di koran tentang acara tersebut. Yang saya baca
di koran hari-hari ini cuma laporan pengadilan Hariman Siregar – yang bagi saya
lebih menyangkut masalah yang lebih dasar daripada masalah penyair Indonesia
dan puisi mereka.
Tentang Kehidupan Puisi
Kalau kini atau nanti Subagio Sastrowardoyo, W.S. Rendra, Taufiq Ismail dan
lain-lain tidak lagi menghasilkan sesuatu apa pun yang berharga, tak usah kita
panik. Baca saja buku-buku puisi yang dulu atau yang lain yang masih kita
senangi. Atau bikin sendiri. Kalau Slamet Kirnanto dan anggota-anggota
kelompoknya, yakni Darmanto Jt dan Sutardji, tidak bisa lagi bikin puisi
sendiri, juga jangan gugup. Apalagi kebetulan masih ada Adri Darmadji,
Yudhistira Ardi Noegraha, dan lain-lain.
Sekali lagi, tokoh kita adalah puisi, bukan penyair. Yang kita butuhkan
adalah puisi berharga-hingga lebih baik seorang penyair berhenti menulis
daripada ia memaksa diri unjuk tenaganya tapi cuma menghasilkan ampas. Yang
paling repot mempersalahkan kemandegan biasanya justru mereka yang takut
kemandegan diri sendiri. Orang separuh baya biasanya mulai memperhatikan
perkara daya seksual. Maka di Bandung yang menyatakan situasi puisi kita
“sehat-sehat saja” adalah penyair-penyair yang lebih muda dan masih aktif
menulis. Saya teringat diskusi kosong tahun 1950-an tentang “krisis” dan
“kelesuan” : yang menyatakan ada “krisis” dan “kelesuan” adalah mereka yang
sudah uzur daya kreatifnya, sedangkan yang membantah ialah generasi yang lebih
muda. Sejarah berulang, dan puisi Indonesia jalan terus. Maka pak tua, jangan
menangis! Tidak ada salahnya puisi hidup tanpa kita ....
Sapardi Djoko Damono dalam “Catatan Atas Pengadilan Puisi dan Tuntutan
Slamet Kirnanto” menyatakan bahwa Harap diketahui bahwa saya diundang
menghadiri “Pengadilan Puisi” yang diselenggarakan di Bandung tanggal 8
September 1974. Sayang sekali saya tidak bisa hadir karena alasan kesehatan.
Pada tahun 1970, Darmanto Jt pernah menyodorkan gagasan mengadakan kegiatan
semacam itu di Semarang, tetapi karena beberapa alasan acara yang dimaksudkan
untuk badutan itu tidak bisa
dilaksanakan pada saatnya. Baru tahun ini ada beberapa teman yang bersedia
melaksanakan gagasan asli Darmanto Jt itu di Bandung.
Kesimpulan saya: tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang
buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak (kecuali barangkali, empat
buah pokok tuntutannya yang di bagian akhir tulisan itu). Barangkali kita harus
menghargai Slamet Kirnanto karena “keberanian”-nya tampil di Bandung tempo
hari, namun saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu “serius” untuk
pertemuan serupa itu. Suasana pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt
yang bertindak sebagai “penuntut umum”.
Dan harus kita hargai kecerdikan akal Darmanto Jt yang telah menghasilkan
sebuah pertemuan yang unik (yang katanya diselenggarakan oleh Sanento Yuliman
dan Sutardji Calzoum Bachri), yang menjadi alasan pertemuan di FSUI kali ini.
Kelebihan buku ini:
Menurut
saya buku ini sangat baik untuk dibaca dan sangat dianjurkan untuk dibaca oleh
mahasiswa sastra untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai sejarah sastra yang
pernah terjadi di Indonesia ini.
Kekurangan buku ini:
Menurut
saya kata-katanya kurang mudah untuk dipahami sehingga jika masyarakat awam
yang membaca mungkin akan susah dan bisa jadi dianggap membosankan karena
kata-katanya yang agak sulit dipahami.
C. Kesimpulan
Buku
ini sangat baik untuk dibaca selain untuk menambah wawasan kita terhadap kesusastraan
di Indonesia. Kita juga dapat banyak pesan moral yang diselipkan oleh penulis
dalam tulisannya itu. Dan juga banyak hal menarik yang terdapat dalam buku ini.
Langganan:
Postingan (Atom)