Senin, 08 Mei 2017

KETERLIBATAN PKI TERHADAP LEKRA DAN PARA PENGARANGNYA



Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan  Lekra. Berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950 di Jakarta. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dengan pahamnya realisme-sosialis. Pada mulanya Lekra ini bukanlah organ kebudayaan namun setelah kedudukan PKI semakin kuat barulah Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaan.

Secara tidak langsung PKI kian kuat pada kedudukannya dalam dunia politik. Pada tahun 1959 Soekarno yang ketika itu menjadi presiden mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan ‘Manifesto Politik’ (yang kemudian menjadi terkenal dengan singkatan Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol ini memberikan ruang gerak terhadap PKI untuk sedikit demi sedikit merebut posisi-posisi penting dalam usahanya merebut kekuasaan.
Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk perebutan kekuasaan itu, PKI mengerahkan segala kekuatan dalam segala bidang dan segala lapangan. Bukan hanya dalam bidang politik saja, tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya dilakukan pengerahan kekuatan secara demonstratif dan massal untuk mengiriskan lawan-lawannya. Dalam bidang kebudayaan pengerahan tenaga itu dilakukan oleh Lekra yang secara simultan bekerja sama dengan serikat buruh, organisasi pemuda, mahasiswa, sarjana, petani dan potensi masyarakat yang lain.

Seperti juga dalam bidang-bidang lain yang dilakukan oleh organ-organ PKI di lapangan bersangkutan, pun di lapangan kebudayaan Lekra melakukan salah satu metode komunisme yang sudah terkenal di mana-mana, yaitu menteror orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham atau tidak bisa diajak sepaham dengan mereka. (Rosidi, 1986 : 164)
Dalam lapangan sastra Lekra juga secara langsung mengusik pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan mereka. Seperti yang terjadi pada Hamka terhadap karyanya yang berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang dianggap mirip dengan Madjdulin Luthfi Al-Manfaluthi dijadikan alasan untuk menghancurkan namanya. Secara massal dan beramai-ramai Hamka dijatuhkan. Padahal delapan tahun sebelum itu (1955) Ali Audah telah mengemukakan persoalan ini. Tetapi karena ketika itu Lekra belum sampai pada tahap agresif, maka persoalan itu seolah-olah tidak ada.

Teori intensif yang mereka lakukan itu telah menyebabkan banyak budayawan, seniman dan pengarang lalu menggabungkan diri kepada Lekra. Karena para seniman itu agaknya berpendapat kalau tidak begitu, mereka tidak akan selamat. Sebagian lagi, yang tetap memegang prinsip menolak komunisme, lalu menggabungkan diri pada organisasi-organisasi kebudayaan yang bernaung pada partai-partai Nasakom yang ada pada masa itu. Mengikuti PKI dengan Lekranya, partai-partai yang lain pun membentuk organisasi-organisasi kebudayaan yang berinduk kepada partai, seperti juga membentuk organisasi buruh, petani, nelayan, dan pemuda yang bernaung pada partainya. Tahun 1959 PNI membentuk LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) yang untuk pertama kali diketuai oleh Sitor Situmorang.
Dengan berbagai akal dan cara para budayawan, seniman dan pengarang Indonesia dipaksa untuk masuk salah satu kandang. Kalau tidak, mereka akan menjadi bulan-bulanan orang Lekra dan PKI. Bahkan organisasi-organisasi yang tidak berinduk kepada salah satu partai Naskom, segera didesak supaya bubar atau memilih salah satu partai Naskom sebagai induk. Organisasi-organisasi mahasiswa dan pelajar yang hendak berdiri sendiri (independen) terus-terusan diteror dan difitnahnya, seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII). (Rosidi, 1986 : 165-166)
Tapi tahun-tahun menjelang 1965 itu bukan lagi masa untuk perdebatan filsafat. Sejak awal, PKI tampaknya sedang meningkatkan militansinya – dan melihat “Manikebu” sebagai sasaran yang bagus untuk menggerakkan diri. Pada saat yang sama mungkin partai itu juga melihat “Manikebu” sebagai ancaman politik, sebagai langkah baru Angkatan Bersenjata untuk menentang posisi PKI yang sedang unggul di bidang ideologi. (Mohamad, 1993 : 50-51)

Para Pengarang Lekra

Supaya mendapat gambaran siapa saja para pengarang Lekra, di bawah ini akan disinggung tokoh-tokohnya yang terpenting secara sepintas. Patut dikemukakan, bahwa dibandingkan dengan organisasi-organisasi kebudayaan yang berinduk kepada partai-partai yang lain, Lekra paling maju dalam bidang penerbitan. Bahkan mungkin satu-satunya yang menyelenggarakan penerbitan-penerbitan karya sastra berbentuk buku. Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota mereka pun asal dianggapnya menguntungkan pihak mereka, diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul Zaman Baru (1962) diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra. Padahal Sitor resminya ialah orang LKN.
Kecuali ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai Harian Rakyat yang secara tetap terbit setiap hari Sabtu dan dimpin oleh Hr. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah Zaman Baru yang dimpin oleh Rivai Apin, S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, merka menerbitkan harian Kebudayaan Baru yang dipimpin oleh S. Anantaguna. Dalam ruangan penerbitan-penerbitan itu selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan. Dalam bidang penerbitan buku-buku mereka sangat aktif sekali. Berbagai kumpulan sajak, kumpulan cerpen, drama, roman baik asli maupun terjemahan, baik ditulis oleh seorang pengarang maupun merupakan kumpulan bersama, banyak diterbitkan sejak tahun 1959 sampai terjadi Gestapu.

Sementara itu orang-orang Lekra pun disebar untuk menguasai media massa yang secara resmi bukan milik mereka. Pramoedya Ananta Toer merupakan salah seorang ketua Lembaga Seni Sastra (Lekra) dan salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan Lentera dalam surat kabar Bintang (Timur) Minggu yang resminya ialah koran Partindo. Melalui media massa ini dilancarkan dengan gencar berbagai insinuasi, fitnah dan serangan terhadap orang-orang dan golongan-golongan yang secara politis dianggap membahayakan mereka.
Jumlah para pengarang yang mengisi lembaran-lembaran kebudayaan itu kian hari kian bertambah. Ada nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis. Ada pula nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Di antara golongan kedua itu bisa disebut Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan Budiman, S.Wisnu Kuntjahjo, Sobron Aidit, Utuy T. Sontani, Dodong Djiwapradja, Pramoedya Ananta Toer dan lain-lain. Mereka sudah mengumumkan karya-karya mereka dalam majalah atau berupa buku sebelum mereka menjadi anggota Lekra atau mengumumkan karangan-karangan mereka dalam penerbitan-penerbitan Lekra atau yang diasuh oleh orang Lekra. Diantara para penulis yang namanya sejak mulai muncul selalu dalam lingkungan Lekra ialah A.S. Dharta, Bachtiar Siagian, Bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakotta, Zubir A.A., A. Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, S. Anantaguna, Agam Wispi, Kusni Sulang, B.A. Simanjuntak, Sugiarti Siswadi, Hadi S., dan lain-lain. (Rosidi, 1986 : 170-171)


Referensi :
Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah sastra Indonesia (Cetakan keempat). Bandung : Binacipta.
Mohamad, Goenawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta : PT. Pustaka Firdaus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar