Senin, 24 April 2017

RINGKASAN BUKU PENGADILAN PUISI

       A.    Identitas Buku
Judul Buku      : Pengadilan Puisi
Penulis            : Pamusuk Eneste
Penerbit           : PT GUNUNG AGUNG
Tahun Terbit    : 1986
Tebal Buku      : 74 hal.

       B.    Ringkasan
Pengadilan Puisi, tepatnya “Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir”, merupakan nama sebuah acara yang diselenggarakan pada tanggal 8 September 1974 di Aula Universitas Parahyangan Bandung. Dengan tujuan mencari sesuatu yang berbeda dalam membicarakan kesusastraan, dalam hal ini puisi. Karena seminar, simposium, diskusi panel dianggap membosankan. Bagaimana kalau dicari suatu bentuk yang tidak menjemukan, lucu tapi juga bersungguh-sungguh. Menurut gagasan Darmanto, bentuk pengadilan puisi bisa memenuhi persyaratan. Demikianlah Puisi Indonesia Mutakhir  jadi terdakwa yang diadili. Dimana Slamet Kirnanto bertindak sebagai Jaksa. Hakim Ketua diisi oleh Sanento Yuliman dan didampingi oleh Darmanto Jt. Selaku Jaksa Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”

Dakwaan tersebut merupakan sejumlah kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagalung yang menjagokan Subagio Sastrowardoyo begitu pula H.B. Jassin yang menjagokan W.S. Rendra. Mereka tidak pernah membicarakan Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jt yang membawa “gejala pembaharuan”. Juga gejala “saling memuji” antara tiga serangkai Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Abdul Hadi W.M. terlebih terhadap Horison yang dianggap tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab, dimana berubah fungsi menjadi “majalah keluarga” dan tempat tumbuh subur epigon-epigon seperti Abdul Hadi.

Taufiq Ismail selaku pembela dalam “Catatan dari Bandung dan Jakarta : Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir dan Jawaban Terhadap Itu” mengatakan ... Dalam hal ini, pembela bertolak saja dari dakwaan-dakwaan, mengarahkan para saksi pada titik yang menguntungkan terdakwa sehingga dakwaan dapat diruntuhkan semuanya. Tentu harus dengan semangat humoristis.

Slamet Kirnanto dalam “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!” mengatakan ... Dalam hati saya timbul rasa geli mendengar pertandingan adu nomor undian semacam ini. Bagaimana kita harus mempercayai pendirian dan penilainan dua kritikus itu, sedang mereka tidak cukup waktu untuk mempelajari rasa hidup dan perkembangan-perkembangan puisi kita mutakhir secara keseluruhan, khususnya makin pesatnya kapasitas penciptaan akhir-akhir ini, dan esensinya dibandingkan dengan para establishment yang mereka perebutkan itu.

Menimbang perlunya menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan menuntut yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar yang menghambat langkah dari kecendrungan yang sedang tumbuh sekarang; berdasarkan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Puisi), seperti terjelma dalam pasal demi pasalnya yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; dengan ini kami sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam “Peradilan Puisi Kontemporer”, mengajukan tuntutan sebagai berikut :
  1. Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
  2. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
  3. Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi ingkarnasinya dibuang ke pulau paling terpencil.
  4. Horison dan Budaya Jaya harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.
H.B. Jassin dalam “Beberapa Catatan Bertalian dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir” mengatakan ... Waktu saya membaca laporan “Pengadilan Puisi Kontemporer” dalam harian Kompas tanggal 10 September 1974, saya mengira berhadapan dengan pengadilan imajiner yang disusun oleh pelapornya dari bahan-bahan yang dikumpulkannya dengan mewawancarai orang-orang yang ditampilkan dalam laporan itu. Demikian pula rupanya di antara orang yang mengetahui peristiwa itu hanya dari surat kabar, salah paham jadi lebih besar lagi, karena laporan itu kehilangan suasana yang mestinya meliputi ruangan “pengadilan” itu. Maka terjadilah bahwa ada orang yang tertawa dan ada orang yang marah. Dan ada juga mungkin yang berdiri di tengah-tengah, tertawa karena merasa lucu, tapi juga marah karena menganggap kelucuan itu tidak pada tempatnya.


Menurut programa, susunan personalia pengadilan adalah seperti berikut :
Hakim Ketua                          : Sanento Yuliman
Hakim Anggota                      : Darmanto Jt
Jaksa Penuntut Umum           : Slamet Kirnanto
Tim Pembela                          : Taufiq Ismail
                                                             Sapardi Djoko Damono (absen)
                                                             (Handrawan Nadesul)
Terdakwa                                : Puisi Indonesia Mutakhir
Para Saksi :                                   
a.     Saksi yang meringankan
Saini K.M. (Bandung)
Adri Darmadji (Jakarta)
Wing Kardjo (Bandung)
Abdul Hadi W.M. (Bandung)
Umbu Landu Paranggi (Yogya, absen)
Yudhistira Ardi Noegraha (Jakarta)
b.     Saksi yang memberatkan
Sutardji Calzoum Bachri (Bandung)
Sides Sudyarto DS (Jakarta)
  
Bunyi rumusan dakwaan sebagaimana yang dapat ditangkap dari laporan wartawan Kompas ialah bahwa :

... situasi perkembangan sastra, khususnya puisi Indonesia tidak menentu. Sudah tidak sehat sama sekali. Gejala-gejala kebarat-baratan yang berasal dari satrawan intelektualistis Sutan Takdir Alisjahbana masih terus berjalan, sehingga sastra Indonesia tidak menemukan kekuatannya pada kepribadiannya sendiri, melainkan hanya epigonisme dari Barat saja

Selanjutnya dikatakan pula bahwa biang keladi keadaan yang tidak sehat ini adalah Goenawan Mohamad yang meneruskan epigonisme dari Barat, disempurnakan oleh Sapardi Djoko damono dan dibuntuti oleh Abdul Hadi W.M. Tak luput pula dianggap berdosa majalah Horison dan Budaya Jaya yang menjadi penyebar dan juru bicara epigonisme yang dianggap berbahaya itu dan karena itu harus dicabut izin terbitnya. Dan akhirnya, surat tuduhan itu menyebut para kritikus, antara lain H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa “selalu menghembus-hembuskan angin sastra yang tidak sehat itu, serta tidak sanggup melihat gejala dan kenyataan adanya aliran baru yang lebih Indonesia”, dan karena itu harus segera dipensiunkan.

Yang menarik dari buku ini ialah tentang tulisan pada paragraf kesembilan bab ini yang ditulis seperti ini; Si Terdakwa ialah puisi Indonesia Mutakhir yang tentu didukung oleh penyair Indonesia mutakhir. Di sini timbul pertanyaan. Semua para pengadil adalah penyair Indonesia mutakhir. Apakah mereka mengadili diri sendiri? Ini tentu bisa saja, kalau para pengadil tidak merasa turut bersalah dan sekadar hendak mengadili mereka penulis puisi yang bersalah. Tapi anehnya, Sapardi Djoko Damono yang mestinya duduk di kursi terdakwa, turut pula menjadi pembela. Demikian Abdul Hadi yang disebut-sebut sebagai terdakwa, berfungsi sebagai saksi, sekaligus sebagai saksi a decharge. Malahan pembela Taufiq Ismail seharusnya duduk di kursi terdakwa, karena turut bersalah duduk dalam redaksi Horison yang dituntut supaya dicabut izin terbitnya. Lebih aneh lagi saksi Sides Sudyarto yang dalam kesaksiannya mengatakan bahwa sejak Chairil Anwar sudah tidak ada, tidak ada lagi puisi Indonesia. Dengan demikian dia menerjang habis Hakim Ketua, Hakim Anggota, Jaksa Penuntut Umum, Tim Pembela, semua Para Saksi, yang adalah penyair-penyair sesudah Chairil Anwar, termasuk dirinya sendiri. Menurut saksi ini, semua mereka itu hanya mendompleng pada gaya Chairil Anwar, dengan mereka-reka kata yang kemudian diberi cap “puisi” dengan seenaknya.

M.S. Hutagalung dalam “Puisi Kita Dewasa Ini Jawaban Saya terhadap Slamet Kirnanto” menyatakan bahwa Saya berpendirian bahwa disenangi atau tidak disenangi pengarang, FSUI harus tetap mengutarakan pendapat-pendapatnya terhadap karya sastra. Untuk mengulangi hal-hal yang telah dikemukakan, diambil beberapa kesimpulan :
  1. Pandangan-pandangan  Slamet Kirnanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan kesusastraan kita khususnya, kebudayaan kita umumnya.
  2. Saya berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
  3. Bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnanto lah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada pandangan Kirnanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
  4. Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, langsunglah menilai karyanya tanpa menghubungkan harapan agar mereka sebagai “pengarah” sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tuntutan yang tidak wajar untuk mereka.
Goenawan Mohamad dalam “Komentar Berhubung dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir” menyatakan bahwa saya tak hadir disana. Saya tak menerima undangan sebagaimana yang lain-lain, meskipun nama saya mereka sebut-sebut. Saya juga sebelumnya tak membaca berita di koran tentang acara tersebut. Yang saya baca di koran hari-hari ini cuma laporan pengadilan Hariman Siregar – yang bagi saya lebih menyangkut masalah yang lebih dasar daripada masalah penyair Indonesia dan puisi mereka.

Tentang Kehidupan Puisi
Kalau kini atau nanti Subagio Sastrowardoyo, W.S. Rendra, Taufiq Ismail dan lain-lain tidak lagi menghasilkan sesuatu apa pun yang berharga, tak usah kita panik. Baca saja buku-buku puisi yang dulu atau yang lain yang masih kita senangi. Atau bikin sendiri. Kalau Slamet Kirnanto dan anggota-anggota kelompoknya, yakni Darmanto Jt dan Sutardji, tidak bisa lagi bikin puisi sendiri, juga jangan gugup. Apalagi kebetulan masih ada Adri Darmadji, Yudhistira Ardi Noegraha, dan lain-lain.
Sekali lagi, tokoh kita adalah puisi, bukan penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi berharga-hingga lebih baik seorang penyair berhenti menulis daripada ia memaksa diri unjuk tenaganya tapi cuma menghasilkan ampas. Yang paling repot mempersalahkan kemandegan biasanya justru mereka yang takut kemandegan diri sendiri. Orang separuh baya biasanya mulai memperhatikan perkara daya seksual. Maka di Bandung yang menyatakan situasi puisi kita “sehat-sehat saja” adalah penyair-penyair yang lebih muda dan masih aktif menulis. Saya teringat diskusi kosong tahun 1950-an tentang “krisis” dan “kelesuan” : yang menyatakan ada “krisis” dan “kelesuan” adalah mereka yang sudah uzur daya kreatifnya, sedangkan yang membantah ialah generasi yang lebih muda. Sejarah berulang, dan puisi Indonesia jalan terus. Maka pak tua, jangan menangis! Tidak ada salahnya puisi hidup tanpa kita ....

Sapardi Djoko Damono dalam “Catatan Atas Pengadilan Puisi dan Tuntutan Slamet Kirnanto” menyatakan bahwa Harap diketahui bahwa saya diundang menghadiri “Pengadilan Puisi” yang diselenggarakan di Bandung tanggal 8 September 1974. Sayang sekali saya tidak bisa hadir karena alasan kesehatan.
Pada tahun 1970, Darmanto Jt pernah menyodorkan gagasan mengadakan kegiatan semacam itu di Semarang, tetapi karena beberapa alasan acara yang dimaksudkan untuk badutan itu tidak bisa dilaksanakan pada saatnya. Baru tahun ini ada beberapa teman yang bersedia melaksanakan gagasan asli Darmanto Jt itu di Bandung.
Kesimpulan saya: tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak (kecuali barangkali, empat buah pokok tuntutannya yang di bagian akhir tulisan itu). Barangkali kita harus menghargai Slamet Kirnanto karena “keberanian”-nya tampil di Bandung tempo hari, namun saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu “serius” untuk pertemuan serupa itu. Suasana pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang bertindak sebagai “penuntut umum”.
Dan harus kita hargai kecerdikan akal Darmanto Jt yang telah menghasilkan sebuah pertemuan yang unik (yang katanya diselenggarakan oleh Sanento Yuliman dan Sutardji Calzoum Bachri), yang menjadi alasan pertemuan di FSUI kali ini.

Kelebihan buku ini:
Menurut saya buku ini sangat baik untuk dibaca dan sangat dianjurkan untuk dibaca oleh mahasiswa sastra untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai sejarah sastra yang pernah terjadi di Indonesia ini.

Kekurangan buku ini:
Menurut saya kata-katanya kurang mudah untuk dipahami sehingga jika masyarakat awam yang membaca mungkin akan susah dan bisa jadi dianggap membosankan karena kata-katanya yang agak sulit dipahami.

                    C. Kesimpulan

Buku ini sangat baik untuk dibaca selain untuk menambah wawasan kita terhadap kesusastraan di Indonesia. Kita juga dapat banyak pesan moral yang diselipkan oleh penulis dalam tulisannya itu. Dan juga banyak hal menarik yang terdapat dalam buku ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar