Lembaga
Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Lekra. Berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950
di Jakarta. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dengan pahamnya
realisme-sosialis. Pada mulanya Lekra ini bukanlah organ kebudayaan namun
setelah kedudukan PKI semakin kuat barulah Lekra secara resmi menjadi organ
kebudayaan.
Secara
tidak langsung PKI kian kuat pada kedudukannya dalam dunia politik. Pada tahun
1959 Soekarno yang ketika itu menjadi presiden mendekritkan UUD 1945 berlaku
lagi dan mengajukan ‘Manifesto Politik’ (yang kemudian menjadi terkenal dengan
singkatan Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol ini memberikan ruang
gerak terhadap PKI untuk sedikit demi sedikit merebut posisi-posisi penting
dalam usahanya merebut kekuasaan.
Dalam
usahanya mempersiapkan diri untuk perebutan kekuasaan itu, PKI mengerahkan
segala kekuatan dalam segala bidang dan segala lapangan. Bukan hanya dalam
bidang politik saja, tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya dilakukan
pengerahan kekuatan secara demonstratif dan massal untuk mengiriskan
lawan-lawannya. Dalam bidang kebudayaan pengerahan tenaga itu dilakukan oleh
Lekra yang secara simultan bekerja sama dengan serikat buruh, organisasi
pemuda, mahasiswa, sarjana, petani dan potensi masyarakat yang lain.
Seperti
juga dalam bidang-bidang lain yang dilakukan oleh organ-organ PKI di lapangan
bersangkutan, pun di lapangan kebudayaan Lekra melakukan salah satu metode
komunisme yang sudah terkenal di mana-mana, yaitu menteror orang-orang dan
golongan yang dianggapnya tidak sepaham atau tidak bisa diajak sepaham dengan
mereka. (Rosidi, 1986 : 164)
Dalam
lapangan sastra Lekra juga secara langsung mengusik pengarang yang mempunyai
paham berbeda dengan mereka. Seperti yang terjadi pada Hamka terhadap karyanya
yang berjudul Tenggelamnya Kapal van der
Wijck yang dianggap mirip dengan Madjdulin
Luthfi Al-Manfaluthi dijadikan alasan untuk menghancurkan namanya. Secara
massal dan beramai-ramai Hamka dijatuhkan. Padahal delapan tahun sebelum itu
(1955) Ali Audah telah mengemukakan persoalan ini. Tetapi karena ketika itu
Lekra belum sampai pada tahap agresif, maka persoalan itu seolah-olah tidak
ada.
Teori
intensif yang mereka lakukan itu telah menyebabkan banyak budayawan, seniman
dan pengarang lalu menggabungkan diri kepada Lekra. Karena para seniman itu
agaknya berpendapat kalau tidak begitu, mereka tidak akan selamat. Sebagian
lagi, yang tetap memegang prinsip menolak komunisme, lalu menggabungkan diri
pada organisasi-organisasi kebudayaan yang bernaung pada partai-partai Nasakom
yang ada pada masa itu. Mengikuti PKI dengan Lekranya, partai-partai yang lain
pun membentuk organisasi-organisasi kebudayaan yang berinduk kepada partai,
seperti juga membentuk organisasi buruh, petani, nelayan, dan pemuda yang
bernaung pada partainya. Tahun 1959 PNI membentuk LKN (Lembaga Kebudayaan
Nasional) yang untuk pertama kali diketuai oleh Sitor Situmorang.
Dengan
berbagai akal dan cara para budayawan, seniman dan pengarang Indonesia dipaksa
untuk masuk salah satu kandang. Kalau tidak, mereka akan menjadi bulan-bulanan
orang Lekra dan PKI. Bahkan organisasi-organisasi yang tidak berinduk kepada
salah satu partai Naskom, segera didesak supaya bubar atau memilih salah satu
partai Naskom sebagai induk. Organisasi-organisasi mahasiswa dan pelajar yang
hendak berdiri sendiri (independen) terus-terusan diteror dan difitnahnya,
seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam
Indonesia (PII). (Rosidi, 1986 : 165-166)
Tapi
tahun-tahun menjelang 1965 itu bukan lagi masa untuk perdebatan filsafat. Sejak
awal, PKI tampaknya sedang meningkatkan militansinya – dan melihat “Manikebu”
sebagai sasaran yang bagus untuk menggerakkan diri. Pada saat yang sama mungkin
partai itu juga melihat “Manikebu” sebagai ancaman politik, sebagai langkah
baru Angkatan Bersenjata untuk menentang posisi PKI yang sedang unggul di
bidang ideologi. (Mohamad, 1993 : 50-51)
Para
Pengarang Lekra
Supaya mendapat gambaran siapa saja para pengarang Lekra,
di bawah ini akan disinggung tokoh-tokohnya yang terpenting secara sepintas.
Patut dikemukakan, bahwa dibandingkan dengan organisasi-organisasi kebudayaan
yang berinduk kepada partai-partai yang lain, Lekra paling maju dalam bidang penerbitan.
Bahkan mungkin satu-satunya yang menyelenggarakan penerbitan-penerbitan karya
sastra berbentuk buku. Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan
anggota mereka pun asal dianggapnya menguntungkan pihak mereka, diterbitkan
juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul Zaman Baru (1962) diterbitkan oleh organ
penerbitan Lekra. Padahal Sitor resminya ialah orang LKN.
Kecuali ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai Harian Rakyat yang secara tetap terbit
setiap hari Sabtu dan dimpin oleh Hr. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah Zaman Baru yang dimpin oleh Rivai Apin,
S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, merka
menerbitkan harian Kebudayaan Baru
yang dipimpin oleh S. Anantaguna. Dalam ruangan penerbitan-penerbitan itu
selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan karangan-karangan lain
baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan. Dalam bidang
penerbitan buku-buku mereka sangat aktif sekali. Berbagai kumpulan sajak,
kumpulan cerpen, drama, roman baik asli maupun terjemahan, baik ditulis oleh
seorang pengarang maupun merupakan kumpulan bersama, banyak diterbitkan sejak
tahun 1959 sampai terjadi Gestapu.
Sementara itu orang-orang Lekra pun disebar untuk
menguasai media massa yang secara resmi bukan milik mereka. Pramoedya Ananta
Toer merupakan salah seorang ketua Lembaga Seni Sastra (Lekra) dan salah
seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan Lentera dalam surat kabar Bintang (Timur) Minggu yang resminya
ialah koran Partindo. Melalui media massa ini dilancarkan dengan gencar
berbagai insinuasi, fitnah dan serangan terhadap orang-orang dan
golongan-golongan yang secara politis dianggap membahayakan mereka.
Jumlah para pengarang yang mengisi lembaran-lembaran
kebudayaan itu kian hari kian bertambah. Ada nama-nama baru yang untuk pertama
kali menulis. Ada pula nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang
kemudian masuk Lekra. Di antara golongan kedua itu bisa disebut Rivai Apin, S.
Rukiah, Kuslan Budiman, S.Wisnu Kuntjahjo, Sobron Aidit, Utuy T. Sontani,
Dodong Djiwapradja, Pramoedya Ananta Toer dan lain-lain. Mereka sudah
mengumumkan karya-karya mereka dalam majalah atau berupa buku sebelum mereka
menjadi anggota Lekra atau mengumumkan karangan-karangan mereka dalam
penerbitan-penerbitan Lekra atau yang diasuh oleh orang Lekra. Diantara para
penulis yang namanya sejak mulai muncul selalu dalam lingkungan Lekra ialah
A.S. Dharta, Bachtiar Siagian, Bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakotta,
Zubir A.A., A. Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, S. Anantaguna, Agam Wispi,
Kusni Sulang, B.A. Simanjuntak, Sugiarti Siswadi, Hadi S., dan lain-lain. (Rosidi, 1986 :
170-171)
Referensi :
Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah sastra Indonesia
(Cetakan keempat). Bandung : Binacipta.
Mohamad, Goenawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta :
PT. Pustaka Firdaus.