Senin, 24 April 2017

RINGKASAN BUKU PENGADILAN PUISI

       A.    Identitas Buku
Judul Buku      : Pengadilan Puisi
Penulis            : Pamusuk Eneste
Penerbit           : PT GUNUNG AGUNG
Tahun Terbit    : 1986
Tebal Buku      : 74 hal.

       B.    Ringkasan
Pengadilan Puisi, tepatnya “Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir”, merupakan nama sebuah acara yang diselenggarakan pada tanggal 8 September 1974 di Aula Universitas Parahyangan Bandung. Dengan tujuan mencari sesuatu yang berbeda dalam membicarakan kesusastraan, dalam hal ini puisi. Karena seminar, simposium, diskusi panel dianggap membosankan. Bagaimana kalau dicari suatu bentuk yang tidak menjemukan, lucu tapi juga bersungguh-sungguh. Menurut gagasan Darmanto, bentuk pengadilan puisi bisa memenuhi persyaratan. Demikianlah Puisi Indonesia Mutakhir  jadi terdakwa yang diadili. Dimana Slamet Kirnanto bertindak sebagai Jaksa. Hakim Ketua diisi oleh Sanento Yuliman dan didampingi oleh Darmanto Jt. Selaku Jaksa Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”

Dakwaan tersebut merupakan sejumlah kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagalung yang menjagokan Subagio Sastrowardoyo begitu pula H.B. Jassin yang menjagokan W.S. Rendra. Mereka tidak pernah membicarakan Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jt yang membawa “gejala pembaharuan”. Juga gejala “saling memuji” antara tiga serangkai Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Abdul Hadi W.M. terlebih terhadap Horison yang dianggap tidak mampu lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab, dimana berubah fungsi menjadi “majalah keluarga” dan tempat tumbuh subur epigon-epigon seperti Abdul Hadi.

Taufiq Ismail selaku pembela dalam “Catatan dari Bandung dan Jakarta : Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir dan Jawaban Terhadap Itu” mengatakan ... Dalam hal ini, pembela bertolak saja dari dakwaan-dakwaan, mengarahkan para saksi pada titik yang menguntungkan terdakwa sehingga dakwaan dapat diruntuhkan semuanya. Tentu harus dengan semangat humoristis.

Slamet Kirnanto dalam “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!” mengatakan ... Dalam hati saya timbul rasa geli mendengar pertandingan adu nomor undian semacam ini. Bagaimana kita harus mempercayai pendirian dan penilainan dua kritikus itu, sedang mereka tidak cukup waktu untuk mempelajari rasa hidup dan perkembangan-perkembangan puisi kita mutakhir secara keseluruhan, khususnya makin pesatnya kapasitas penciptaan akhir-akhir ini, dan esensinya dibandingkan dengan para establishment yang mereka perebutkan itu.

Menimbang perlunya menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan menuntut yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar yang menghambat langkah dari kecendrungan yang sedang tumbuh sekarang; berdasarkan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Puisi), seperti terjelma dalam pasal demi pasalnya yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; dengan ini kami sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam “Peradilan Puisi Kontemporer”, mengajukan tuntutan sebagai berikut :
  1. Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
  2. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
  3. Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi ingkarnasinya dibuang ke pulau paling terpencil.
  4. Horison dan Budaya Jaya harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.
H.B. Jassin dalam “Beberapa Catatan Bertalian dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir” mengatakan ... Waktu saya membaca laporan “Pengadilan Puisi Kontemporer” dalam harian Kompas tanggal 10 September 1974, saya mengira berhadapan dengan pengadilan imajiner yang disusun oleh pelapornya dari bahan-bahan yang dikumpulkannya dengan mewawancarai orang-orang yang ditampilkan dalam laporan itu. Demikian pula rupanya di antara orang yang mengetahui peristiwa itu hanya dari surat kabar, salah paham jadi lebih besar lagi, karena laporan itu kehilangan suasana yang mestinya meliputi ruangan “pengadilan” itu. Maka terjadilah bahwa ada orang yang tertawa dan ada orang yang marah. Dan ada juga mungkin yang berdiri di tengah-tengah, tertawa karena merasa lucu, tapi juga marah karena menganggap kelucuan itu tidak pada tempatnya.


Menurut programa, susunan personalia pengadilan adalah seperti berikut :
Hakim Ketua                          : Sanento Yuliman
Hakim Anggota                      : Darmanto Jt
Jaksa Penuntut Umum           : Slamet Kirnanto
Tim Pembela                          : Taufiq Ismail
                                                             Sapardi Djoko Damono (absen)
                                                             (Handrawan Nadesul)
Terdakwa                                : Puisi Indonesia Mutakhir
Para Saksi :                                   
a.     Saksi yang meringankan
Saini K.M. (Bandung)
Adri Darmadji (Jakarta)
Wing Kardjo (Bandung)
Abdul Hadi W.M. (Bandung)
Umbu Landu Paranggi (Yogya, absen)
Yudhistira Ardi Noegraha (Jakarta)
b.     Saksi yang memberatkan
Sutardji Calzoum Bachri (Bandung)
Sides Sudyarto DS (Jakarta)
  
Bunyi rumusan dakwaan sebagaimana yang dapat ditangkap dari laporan wartawan Kompas ialah bahwa :

... situasi perkembangan sastra, khususnya puisi Indonesia tidak menentu. Sudah tidak sehat sama sekali. Gejala-gejala kebarat-baratan yang berasal dari satrawan intelektualistis Sutan Takdir Alisjahbana masih terus berjalan, sehingga sastra Indonesia tidak menemukan kekuatannya pada kepribadiannya sendiri, melainkan hanya epigonisme dari Barat saja

Selanjutnya dikatakan pula bahwa biang keladi keadaan yang tidak sehat ini adalah Goenawan Mohamad yang meneruskan epigonisme dari Barat, disempurnakan oleh Sapardi Djoko damono dan dibuntuti oleh Abdul Hadi W.M. Tak luput pula dianggap berdosa majalah Horison dan Budaya Jaya yang menjadi penyebar dan juru bicara epigonisme yang dianggap berbahaya itu dan karena itu harus dicabut izin terbitnya. Dan akhirnya, surat tuduhan itu menyebut para kritikus, antara lain H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa “selalu menghembus-hembuskan angin sastra yang tidak sehat itu, serta tidak sanggup melihat gejala dan kenyataan adanya aliran baru yang lebih Indonesia”, dan karena itu harus segera dipensiunkan.

Yang menarik dari buku ini ialah tentang tulisan pada paragraf kesembilan bab ini yang ditulis seperti ini; Si Terdakwa ialah puisi Indonesia Mutakhir yang tentu didukung oleh penyair Indonesia mutakhir. Di sini timbul pertanyaan. Semua para pengadil adalah penyair Indonesia mutakhir. Apakah mereka mengadili diri sendiri? Ini tentu bisa saja, kalau para pengadil tidak merasa turut bersalah dan sekadar hendak mengadili mereka penulis puisi yang bersalah. Tapi anehnya, Sapardi Djoko Damono yang mestinya duduk di kursi terdakwa, turut pula menjadi pembela. Demikian Abdul Hadi yang disebut-sebut sebagai terdakwa, berfungsi sebagai saksi, sekaligus sebagai saksi a decharge. Malahan pembela Taufiq Ismail seharusnya duduk di kursi terdakwa, karena turut bersalah duduk dalam redaksi Horison yang dituntut supaya dicabut izin terbitnya. Lebih aneh lagi saksi Sides Sudyarto yang dalam kesaksiannya mengatakan bahwa sejak Chairil Anwar sudah tidak ada, tidak ada lagi puisi Indonesia. Dengan demikian dia menerjang habis Hakim Ketua, Hakim Anggota, Jaksa Penuntut Umum, Tim Pembela, semua Para Saksi, yang adalah penyair-penyair sesudah Chairil Anwar, termasuk dirinya sendiri. Menurut saksi ini, semua mereka itu hanya mendompleng pada gaya Chairil Anwar, dengan mereka-reka kata yang kemudian diberi cap “puisi” dengan seenaknya.

M.S. Hutagalung dalam “Puisi Kita Dewasa Ini Jawaban Saya terhadap Slamet Kirnanto” menyatakan bahwa Saya berpendirian bahwa disenangi atau tidak disenangi pengarang, FSUI harus tetap mengutarakan pendapat-pendapatnya terhadap karya sastra. Untuk mengulangi hal-hal yang telah dikemukakan, diambil beberapa kesimpulan :
  1. Pandangan-pandangan  Slamet Kirnanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan kesusastraan kita khususnya, kebudayaan kita umumnya.
  2. Saya berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
  3. Bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnanto lah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada pandangan Kirnanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
  4. Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, langsunglah menilai karyanya tanpa menghubungkan harapan agar mereka sebagai “pengarah” sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tuntutan yang tidak wajar untuk mereka.
Goenawan Mohamad dalam “Komentar Berhubung dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir” menyatakan bahwa saya tak hadir disana. Saya tak menerima undangan sebagaimana yang lain-lain, meskipun nama saya mereka sebut-sebut. Saya juga sebelumnya tak membaca berita di koran tentang acara tersebut. Yang saya baca di koran hari-hari ini cuma laporan pengadilan Hariman Siregar – yang bagi saya lebih menyangkut masalah yang lebih dasar daripada masalah penyair Indonesia dan puisi mereka.

Tentang Kehidupan Puisi
Kalau kini atau nanti Subagio Sastrowardoyo, W.S. Rendra, Taufiq Ismail dan lain-lain tidak lagi menghasilkan sesuatu apa pun yang berharga, tak usah kita panik. Baca saja buku-buku puisi yang dulu atau yang lain yang masih kita senangi. Atau bikin sendiri. Kalau Slamet Kirnanto dan anggota-anggota kelompoknya, yakni Darmanto Jt dan Sutardji, tidak bisa lagi bikin puisi sendiri, juga jangan gugup. Apalagi kebetulan masih ada Adri Darmadji, Yudhistira Ardi Noegraha, dan lain-lain.
Sekali lagi, tokoh kita adalah puisi, bukan penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi berharga-hingga lebih baik seorang penyair berhenti menulis daripada ia memaksa diri unjuk tenaganya tapi cuma menghasilkan ampas. Yang paling repot mempersalahkan kemandegan biasanya justru mereka yang takut kemandegan diri sendiri. Orang separuh baya biasanya mulai memperhatikan perkara daya seksual. Maka di Bandung yang menyatakan situasi puisi kita “sehat-sehat saja” adalah penyair-penyair yang lebih muda dan masih aktif menulis. Saya teringat diskusi kosong tahun 1950-an tentang “krisis” dan “kelesuan” : yang menyatakan ada “krisis” dan “kelesuan” adalah mereka yang sudah uzur daya kreatifnya, sedangkan yang membantah ialah generasi yang lebih muda. Sejarah berulang, dan puisi Indonesia jalan terus. Maka pak tua, jangan menangis! Tidak ada salahnya puisi hidup tanpa kita ....

Sapardi Djoko Damono dalam “Catatan Atas Pengadilan Puisi dan Tuntutan Slamet Kirnanto” menyatakan bahwa Harap diketahui bahwa saya diundang menghadiri “Pengadilan Puisi” yang diselenggarakan di Bandung tanggal 8 September 1974. Sayang sekali saya tidak bisa hadir karena alasan kesehatan.
Pada tahun 1970, Darmanto Jt pernah menyodorkan gagasan mengadakan kegiatan semacam itu di Semarang, tetapi karena beberapa alasan acara yang dimaksudkan untuk badutan itu tidak bisa dilaksanakan pada saatnya. Baru tahun ini ada beberapa teman yang bersedia melaksanakan gagasan asli Darmanto Jt itu di Bandung.
Kesimpulan saya: tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak (kecuali barangkali, empat buah pokok tuntutannya yang di bagian akhir tulisan itu). Barangkali kita harus menghargai Slamet Kirnanto karena “keberanian”-nya tampil di Bandung tempo hari, namun saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu “serius” untuk pertemuan serupa itu. Suasana pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang bertindak sebagai “penuntut umum”.
Dan harus kita hargai kecerdikan akal Darmanto Jt yang telah menghasilkan sebuah pertemuan yang unik (yang katanya diselenggarakan oleh Sanento Yuliman dan Sutardji Calzoum Bachri), yang menjadi alasan pertemuan di FSUI kali ini.

Kelebihan buku ini:
Menurut saya buku ini sangat baik untuk dibaca dan sangat dianjurkan untuk dibaca oleh mahasiswa sastra untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai sejarah sastra yang pernah terjadi di Indonesia ini.

Kekurangan buku ini:
Menurut saya kata-katanya kurang mudah untuk dipahami sehingga jika masyarakat awam yang membaca mungkin akan susah dan bisa jadi dianggap membosankan karena kata-katanya yang agak sulit dipahami.

                    C. Kesimpulan

Buku ini sangat baik untuk dibaca selain untuk menambah wawasan kita terhadap kesusastraan di Indonesia. Kita juga dapat banyak pesan moral yang diselipkan oleh penulis dalam tulisannya itu. Dan juga banyak hal menarik yang terdapat dalam buku ini. 

Senin, 17 April 2017

LEGENDA MENGENAI SALAH SATU TOKOH PENTING DI SAMARINDA


Legenda yang ada di Samarinda
Sebelum membahas mengenai Legenda yang ada di Samarinda perlu diketahui beberapa hal mengenai apa itu legenda dan sebagainya.
Legenda
Kata latin yang berarti : yang harus dibacakan.
Legendaris (tokoh legendaris), ajektif dari kata legenda yang lebih luas lingkupnya. Karena tradisi lisan atau tertulis  maka sekitar seorang tokoh historis dapat disusun sejumlah cerita yang mengagungkan kepahlawanannya dan yang sifat historis sukar dicek. (Hartoko & B. Rahmanto, 1986 : 79)
Legenda itu sendiri adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Legenda diyakini sebagai kejadian yang benar terjadi di dunia ini berbeda dengan dongeng yang lebih imajinatif atau dunia khayalan.
Legenda seringkali dianggap sebagai “sejarah” kolektif (folk history), walaupun “sejarah” itu karena tidak tertulis telah mengalami distorsi, sehingga seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Oleh karenanya jika kita hendap mempergunakan legenda sebagai bahan untuk mengkonstruksi sejarah suatu folk, kitab harus membersihkannya dahulu bagian-bagiannya yang mengandung sifat-sifat folklor. (Danandjaja, 2002 : 66)
Jenis-jenis legenda :
  • Legenda keagamaan.
  • Legenda alam gaib.
  • Legenda perseorangan dan
  • Legenda setempat.

Selintas Pintas Sejarah Kota Samarinda
Kota samarinda tumbuh dari tiga kampung pemukiman suku Kutai puak Melanti yaitu Kampung Mangkupalas, Karamumus dan Karang Asam. Sejak abad ke-14 ketiga kampung tersebut memperoleh pengaruh yang sangan kuat dari Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1662 sesudah perjanjian Bungaya pengaruh Makassar berangsur-angsur berkurang.
Pada tahun 1668 orang Bugis dari Sulawesi Selatan mulai bermukim di Kutai. Pada permulaan abad ke-18 berdatangan pendatang baru Bugis Wajo di bawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona. Samarinda yang menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Timur dan ibu kota Kotamadya Samarinda didiami bermacam-macam suku bangsa. Mereka melakukan kegiatan pelbagai aspek kehidupan. (Nur Ars, dkk, 1986 : 3 & 4)

Studi Perjalanan menuju Makam Daeng Mangkona
Sabtu, 11 April 2017 adalah hari dimana mahasiswa Satra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya akan mengunjungi dinasti wisata makam La Mohang Daeng Mangkona kami berkumpul terlebih dahulu di kampus FIB Universitas Mulawarman beralamat di jalan Pulau Flores No.1 Pelabuhan Samarinda. Kami berangkat sekitar jam 10.00 pagi didampingi dosen kami. Menyusuri jalanan melewati pelabuhan Samarinda kita dapat dengan jelas melihat kapal-kapal besar berjejaran di pinggir Sungai Mahakam, makin jauh dari pelabuhan kami pun melewati Tepian Samarinda yang sering dikunjungi oleh anak muda di Samarinda terutama pada malam minggu.
Tepian sudah menjadi tempat wisata kuliner yang ada di Samarinda ini. Dan juga tempat yang indah untuk merehatkan diri di tengah hiruk pikuk kota. Kemudian kita berlanjut hingga tiba di jembatan mahakam, di jembatan ini memang sedikit padat sehingga kita tidak dapat memacu gas motor kita dengan kencang.
Kemudian akhirnya kita sampai pada ujung Samarinda Seberang tepatnya dijalan Bung Tomo, disini jalan yang ditempuh lumayan baik. Dijalanan ini pun banyak rumah-rumah warga yang berjejeran banyak diantara mereka yang menjadikan kediamannya sebagai toko kecil-kecilan. Makin dalam kita menyususri jalan tersebut kita makin mendapati jalan yang tidak terlalu luas sehingga kita berjejer satu per satu untuk menyusuri jalan tersebut sesampainya di makam tersebut terlihat dengn jelas tempat makam tersebut dirawat dengan baik oleh penjaga makam. Fasilitas yang ada cukup mendukung dimana terdapat tempat parkir yang cukup luas, WC umum, gazebo dsb.


Makam Daeng Mangkona tersebut mulai dipendopokan pada tahun 1994. Dan diluar pendopo makam inti atau makam Daeng Mangkona tersebut kurang lebih terdapat 100 makam lainnya yang dianggap sebagai makam para kelompoknya.


Gambar Makam Daeng mangkona yang telah dipendopokan

Pendiri Kota Samarinda La Mohang Daeng Mangkona
La Mohang Daeng Mangkona adalah seorang tokoh penting dalam cikal bakal berdirinya Kota Samarinda di Provinsi Kalimantan Timur saat ini. Daeng Mangkona mendirikan pemukiman di Tanah Rendah bersama rombongannya yang berkisar kurang lebih 200 orang dari tanah Wajo pada tahun 1668 dan dari situlah awal mula perkembangan Kota Samarinda. Selain sebagai pendiri Kota Samarinda di Kalimantan Timur ia juga bisa dikatakan sebagai penyebar agama Islam di Samarinda Seberang.
Daeng Mangkona memilih daerah pulau borneo dan singgah di wilayah kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. (Pangeran Dipati Modjo Kusumo) setelah meminta ijin pada Sultan Kutai waktu itu, Daeng Mangkona beserta rombongan diijinkan untuk menetap di suatu daerah bernama Tanah Rendah. Sejak saat itulah, wilayah Tanah Rendah didiami oleh Daeng Mangkona dan mengembangkan daerah tanah rendah menjadi sebuah pusat perdagangan maupun sebagai pelabuhan singgah. Saat ia bertemu dengan Sultan Kutai ia bermukim di pinggir sungai untuk mengawasi daerah Kalimantan dari penjajah.
Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.
Salah satu hal yang dapat dipetik mengenai sejarah Daeng Mangkona ini bahwa orang terdahulu memberi nama perkampungan sebagai Samarendah (sekarang Samarinda) yang dari namanya saja sudah dapat diduga, dimana seluruh masyarakatnya “Sama” derajatnya tidak adanya penggolongan. Berbeda pada masa sekarang ini, orang-orang berlomba-lomba membangun gedung yang tinggi-tinggi hingga adanya gedung pencakar langit. Sebagian besar orang menganggap semakin tinggi bangunan semakin tinggi derajatnya di mata masyarakat.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua “sama” derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau “rendah”.
Hari lahir Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668, yaitu tanggal kedatangan La Mohang Daeng Mangkona yang mula-mula membangun kota ini (Samarinda Seberang Sekarang). Pada tahun 1665, rombongan orang-orang Bugis Wajo yang dipimpin  La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Puo Ado) hijrah dari tanah kesultanan Gowa Kesultanan Kutai. Mereka hijrah keluar pulau hingga ke Kesultanan Kutai karena tidak mau tunduk dan patuh terhadap perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.

Makam Daeng Mangkona
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti meninggalnya La Mohang Daeng Mangkona tersebut, akan tetapi diperingati tiap tanggal 21 Januari sebagai hari jadinya Kota Samarinda. Saat memasuki pendopo makam tersebut terdiri dari 4 makam di sana yaitu Makam Daeng Mangkona itu sendiri, istrinya dan 2 anaknya. Makam Daeng Mangkona tersebut masih asli karena belum adanya perubahan yang dilakukan terhadap makam tersebut. Dan makam tersebut sudah berumur kurang lebih 300 tahun.


Gambar Makam Daeng Mangkona

Makam La Mohang Daeng Mangkona dapat dikatakan makam muslim karena sudah masuk keturunan ke-3. Menurut penjaga makam yang ke-3 yaitu Bapak Abdillah semenjak Daeng Mangkona memutuskan meninggalkan tempat kelahirannya hubungannya terhadap keluarganya sudah tidak terjalin lagi. Dan banyak orang yang datang dan mengaku sebagai keluarga Daeng Mangkona. Karena Daeng Mangkona dan kelompoknya tidak membangun sebuah kerajaan sehingga peninggalannya seperti senjata dan semacamnya sampai saat ini belum ada ujar penjaga makam.
Harapan saya terhadap salah satu legenda yang ada di Samarinda ini semoga orang makin banyak yang menulis mengenai sejarah La Mohang Daeng Mangkona karena masih sebagian kecil orang yang mengetahui mengenai Daeng Mangkona ini. Dan semoga segera ditemukan peninggalan-peninggalan yang berhubungan dengan Daeng Mangkona ini sebagai unsur pendukung Legenda mengenai Daeng Mangkona tersebut.

Referensi :
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia SASTRA. Yogyakarta : Kanisius.
Nur Ars, Moh dkk. 1986. Sejarah Kota Samarinda. Jakarta : Depdikbud.
Ngafenan, Mohamad. 1990. Kamus Kesusastraan. Semarang : Dahara Prize.
Danandjaja, James. 2002. Folkor Indonesia, Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.